2.3 Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan sehingga
dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi
tiba-tiba sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin, tergantung derajat
hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang maka sumsum tulang
masih dapat melakukan kompensasi 6 sampai 8 kali normal sehingga tidak terjadi
anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan
tetapi, apabila terjadi derajat hemolisis berat maka mekanisme kompensasi tidak
dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat
penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan
hemoblobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi seringkali sangat cepat (lebih
dari 2g/dl dalam 1minggu).6
Autoantibodi
diarahkan ke epitop pada sel darah merah terdiri
dari gula dan atau struktur
protein merupakan hal yang sangat
penting dalam patogenesis AIHA.
Isotipe ini penting untuk arti klinis dari
suatu autoantibodi. Imunoglobulin IgM isotipe
membentuk struktur pentameric dan oleh karena itu sangat
efisien dalam aktivasi komplemen. IgG1 dan IgG3 juga
merupakan aktivator komplemen efisien, sedangkan
IgG2 dan IgA
hanya memiliki kapasitas yang lemah untuk mengaktifkan komplemen. IgG4 tidak
mengaktifkan komplemen. Umumnya, sistem komplemen tidak
sepenuhnya diaktifkan dan produk degradasi komplemen (C3c, C3D) dapat dideteksi
sebagai jejak pada sel darah merah (Jejak komplemen) namun
aktivasi komplemen dapat berlanjut
sampai pembentukan dan pengenalan kompleks serangan
membran C6-9 (Membran
Attack Complex) yang berakhir dengan lisis sel darah merah. Suhu optimal
autoantibodi untuk mengikat sel darah merah berkaitan secara klinis.
Autoantibodi dingin (CA-Ab) optimal mengikat sel darah merah di bawah 30 ° C dan sebagian besar merupakan
isotipe IgM. CA-Ab optimal mengikat sekitar suhu 30 ° C karena mereka
menyebabkan aktivasi komplemen secara in-vivo. Autoantibodi hangat (WA-Ab)
menunjukkan pengikatan optimal pada 37 ° C dan sebagian besar merupakan IgG, kurang
umum IgM dan jarang IgA. Autoantibodi
bifasik adalah IgG yang menunjukkan pengikatan optimal di bawah 30 ° C dan
menginduksi aktivasi komplemen pada 37 ° C.12
Semua orang mempunyai
antibodi terhadap sel darah merah, tetapi konsentrasi mereka sering rendah
untuk memicu penyakit (titer di bawah 64 pada suhu 4 ° C). Pada individu dengan
penyakit agglutinin dingin, antibodi ini dalam konsentrasi yang lebih tinggi
(titer lebih dari 1000 pada 4 ° C). Pada suhu tubuh 28-31 ° C, seperti yang
ditemui selama bulan-bulan musim dingin, dan kadang-kadang pada suhu tubuh 37 °
C, antibodi (umumnya IgM) mengikat ke wilayah polisakarida dari glikoprotein
pada permukaan sel darah merah (biasanya antigen I, antigen i, dan antigen Pr).
Pengikatan antibodi terhadap sel darah merah mengaktifkan jalur klasik dari
sistem komplemen. Dalam pembentukan serangan kompleks membran, beberapa protein
komplemen dimasukkan ke dalam membran sel darah merah, membentuk pori-pori yang
menyebabkan ketidakstabilan membran dan hemolisis intravaskular (penghancuran
sel darah merah dalam pembuluh darah). Hal ini meningkatkan penghancuran sel
darah merah oleh fagosit dalam hati dan limpa, proses ini disebut hemolisis
ekstravaskuler.12,13
Sel
darah merah yang dilapisi IgG
dengan / tanpa C3c / C3D dihapus melalui reseptor Fc-gamma dimediasi
fagositosis di limpa, sedangkan sel darah merah yang dilapisi C3c / C3D tanpa
adanya IgG dihancurkan melalui komplemen reseptor yang dimediasi fagositosis di
dalam hati (hemolisis ekstravaskuler).
Adanya IgM yang aktif pada suhu 30
° C, mengaktifkan komplemen yang dapat melanjutkan proses ini sampai menuju
kehancuran intravaskular (hemolisis intravaskular).14
Hemolisis ekstravaskuler
Hemolisis
ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis intravaskuler.
Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES)
terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena
kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibody), presipitasi
hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler
lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksia akan menyebabkan
destruksi sel eritrosit melalui mekanisme fragmentasi.12,14,19
Pemecahan eritrosit
ini akan menghasilkan globin yang akan dibawa ke protein pool, serta besi yang akan dipakai kembali, sedangkan
protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah
berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjungsi dalam
hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga menghasilkan
sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin. 12,14,19
Sebagian
hemogloblin akan masuk ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin
plasma juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemolisis intravaskuler. 12,14,19
Hemolisis intravaskuler
Pemecahan eritrosit
intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin
bebas ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globulin alfa) sehingga kadar
haptoglobin akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh
hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin telah maksimal
maka hemoglobin akan bebas dalam plasma yang disebut sebagai hemoglobinemia.
Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemoglobin sehingga terjadi
methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1)
kemudian diikat oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urin sehingga
terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap
oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika
epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik. Pemecahan eritrosit intravaskuler akan melepaskan banyak LDH yang terdapat
dalam eritrosit sehingga serum LDH akan meningkat. Sumsum tulang akan mengkompensasi untuk meningkatkan eritropoesis. Destruksi
eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback (melalui eritropoetin) sehingga sumsum tulang akan meningkatkan
proses eritropoesis. Sumsum tulang normal dapat meningkatkan kemampuan
eritropoesisnya 6-8 kali lipat. Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan
jumlah eritroblast (normoblast) dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasia
normoblastik. Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik
normoblast basofilik, normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast
asidofilik atau ortokromatik. Normoblast sering dilepaskan ke darah tepi
sehingga terjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa
inti (RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga
terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak
merata (ada sel yang lebih gelap) disebut sebagai polikromasia. Produksi sistem
lain dalam sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan
trombositosis ringan. 12,14,19
No comments:
Post a Comment