Tuesday, February 3, 2015

Referat Anemia Hemolitik Autoimun (Bagian 3)

2.3  Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin, tergantung derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih dapat melakukan kompensasi 6 sampai 8 kali normal sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, apabila terjadi derajat hemolisis berat maka mekanisme kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoblobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi seringkali sangat cepat (lebih dari 2g/dl dalam 1minggu).6
Autoantibodi diarahkan ke epitop pada sel darah merah terdiri dari gula dan atau struktur protein merupakan hal yang sangat penting dalam patogenesis AIHA. Isotipe ini penting untuk arti klinis dari suatu autoantibodi. Imunoglobulin IgM isotipe membentuk struktur pentameric dan oleh karena itu sangat efisien dalam aktivasi komplemen. IgG1 dan IgG3 juga merupakan  aktivator komplemen efisien, sedangkan IgG2 dan IgA hanya memiliki kapasitas yang lemah untuk mengaktifkan komplemen. IgG4 tidak mengaktifkan komplemen. Umumnya, sistem komplemen tidak sepenuhnya diaktifkan dan produk degradasi komplemen (C3c, C3D) dapat dideteksi sebagai jejak pada sel darah merah (Jejak komplemen) namun aktivasi komplemen dapat berlanjut sampai pembentukan dan pengenalan kompleks serangan membran C6-9 (Membran Attack Complex) yang berakhir dengan lisis sel darah merah. Suhu optimal autoantibodi untuk mengikat sel darah merah berkaitan secara klinis. Autoantibodi dingin (CA-Ab) optimal mengikat sel darah merah di bawah 30 ° C dan sebagian besar merupakan isotipe IgM. CA-Ab optimal mengikat sekitar suhu 30 ° C karena mereka menyebabkan aktivasi komplemen secara in-vivo. Autoantibodi hangat (WA-Ab) menunjukkan pengikatan optimal pada 37 ° C dan sebagian besar merupakan IgG, kurang umum IgM dan jarang IgA. Autoantibodi bifasik adalah IgG yang menunjukkan pengikatan optimal di bawah 30 ° C dan menginduksi aktivasi komplemen pada 37 ° C.12
Semua orang mempunyai antibodi terhadap sel darah merah, tetapi konsentrasi mereka sering rendah untuk memicu penyakit (titer di bawah 64 pada suhu 4 ° C). Pada individu dengan penyakit agglutinin dingin, antibodi ini dalam konsentrasi yang lebih tinggi (titer lebih dari 1000 pada 4 ° C). Pada suhu tubuh 28-31 ° C, seperti yang ditemui selama bulan-bulan musim dingin, dan kadang-kadang pada suhu tubuh 37 ° C, antibodi (umumnya IgM) mengikat ke wilayah polisakarida dari glikoprotein pada permukaan sel darah merah (biasanya antigen I, antigen i, dan antigen Pr). Pengikatan antibodi terhadap sel darah merah mengaktifkan jalur klasik dari sistem komplemen. Dalam pembentukan serangan kompleks membran, beberapa protein komplemen dimasukkan ke dalam membran sel darah merah, membentuk pori-pori yang menyebabkan ketidakstabilan membran dan hemolisis intravaskular (penghancuran sel darah merah dalam pembuluh darah). Hal ini meningkatkan penghancuran sel darah merah oleh fagosit dalam hati dan limpa, proses ini disebut hemolisis ekstravaskuler.12,13
Sel darah merah yang dilapisi IgG dengan / tanpa C3c / C3D dihapus melalui reseptor Fc-gamma dimediasi fagositosis di limpa, sedangkan sel darah merah yang dilapisi C3c / C3D tanpa adanya IgG dihancurkan melalui komplemen reseptor yang dimediasi fagositosis di dalam hati (hemolisis ekstravaskuler). Adanya IgM yang aktif pada suhu 30 ° C, mengaktifkan komplemen yang dapat melanjutkan proses ini sampai menuju kehancuran intravaskular (hemolisis intravaskular).14

Hemolisis ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibody), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksia akan menyebabkan destruksi sel eritrosit melalui  mekanisme fragmentasi.12,14,19
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan dibawa ke protein pool, serta besi yang akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjungsi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga menghasilkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin. 12,14,19
Sebagian hemogloblin akan masuk ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin plasma juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemolisis intravaskuler. 12,14,19
Hemolisis intravaskuler
Pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globulin alfa) sehingga kadar haptoglobin akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin telah maksimal maka hemoglobin akan bebas dalam plasma yang disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1) kemudian diikat oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian  besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine (hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik. Pemecahan eritrosit intravaskuler akan melepaskan banyak LDH yang terdapat dalam eritrosit sehingga serum LDH akan meningkat. Sumsum tulang akan mengkompensasi untuk meningkatkan eritropoesis. Destruksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback (melalui eritropoetin) sehingga sumsum tulang akan meningkatkan proses eritropoesis. Sumsum tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat. Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast (normoblast) dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasia normoblastik. Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik, normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau ortokromatik. Normoblast sering dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa inti (RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata (ada sel yang lebih gelap) disebut sebagai polikromasia. Produksi sistem lain dalam sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan trombositosis ringan. 12,14,19


No comments:

Post a Comment

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...