Monday, June 29, 2015

Syok Kardiogenik (bagian 3)

2.6. Diagnosis
·    Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinansudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner seblumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasnaya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.
·      Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun sampai <bo mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denyut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapadan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pasa pasien dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama gallop dapat ttimbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan beberapa tanda-tanda antara lain : pembesarah hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yangsulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkkn terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.
·         Diagnosis
Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and Blood Institute,  Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di bawah batas bawah sebelumnya.
2. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :
a. Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam kemih
b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab
c. Terganggunya fungsi mental
3. Indeks jantung < 2,1 L/(menit/m2)
4. Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan baji kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.
Kriteria ini mencerminkan gagal jantung kiri yang berat dengan adanya gagal ke depan dan ke belakang. Hipotensi sistolik dan adanya gangguan perfusi jaringan merupakan ciri khas keadaan syok. Penurunan yang jelas pada indeks jantung sampai kurang dari 0,9 L/(menit/m2) dapat ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas

  2.7. Pemeriksaan Penunjang
·      Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk menetukan etiologi dari syok kardiogenik.
·      Foto rontgen thorax
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongetsi paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia.
·      Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif cepat dan aman. Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.
·      Pemantauan hemodinamik
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi dari syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembbuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload  akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan menghasilkan penurunan curah jantung
2.8. Penatalaksanaan
Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah sebagai berikut:
1.      Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.
2.      Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat, bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi.
3.      Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.
4.      Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.
a.       PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah) minimal 60 mmHg
b.      Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)
c.       Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan oksigenasi yang adekuat.
5.      Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.
6.      Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.
7.      Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi urine > 0,5 ml/kg BB/jam.
8.      Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks.
9.      Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
10.  Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per oral atau intra muskular : 3-4 x/hari.
11.  Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi:
a.       Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis.
b.      Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropin.
12.  Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP.
Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya:
a.       Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b.      Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c.       Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.
d.      Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.
e.       Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut.
f.        Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.
13.  Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.
14.  Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam regimen terapi.
a.       Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi pertama.
Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.
Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.
Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
b.      Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini.
Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin.
Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin.
Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.
c.       Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan terapi cairan.
Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan > 20 mmHg.
Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin.
Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
2.9. Komplikasi
·         Cardiac arrest
·         Tromboemboli
·         Multi sistem organ failure
·         Stroke
·         Disritmia
2.10. Prognosis
Prognosis syok kardiogenik berdasarkan klasifikasi KILLIP : Klasifikasi Killip adalah sistem yang digunakan pada individu dengan infark miokard akut (serangan  jantung), untuk stratifikasi risiko mereka. Individu dengan kelas Killip rendah kurang mungkin untuk meninggal dalam 30 hari pertama setelah infark miokard mereka daripada individu dengan kelas Killip tinggi. Klasifikasi Killip dibuat sebagai berikut : 
·         Tahap 1:
Tidak ada gagal jantung. Tidak ada tanda klinis dekompensasi jantung. Mortalitas 0-5 %
·         Tahap 2
Gagal jantung. Kriteria diagnostik termasuk krepitasi, gallop S3 dan hipertensivena. Kongesti paru dengan ronki basah halus di bagian basal paru. Mortalitas 10-20% 
·         Tahap 3
Gagal jantung parah. Edema paru Frank di semua bidang paru. Mortalitas 35-45 %
·         Tahap 4
Syok Kardiogenik. Tanda-tanda meliputi hipertensi (SBP ≤  90 mmHg), dan bukti vasokonstriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaphoresis. Mortalitas 85-95 %




Bagian lengkap
 

No comments:

Post a Comment

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...