2.6.
Diagnosis
·
Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi
timbulnya syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang
dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinansudah mempunyai
riwayat penyakit jantung koroner seblumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari
infark miokard akut, biasnaya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah
onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai
gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti
jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya
palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti
sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke
sistem saraf pusat.
·
Pemeriksaan
fisik
Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan
tekanan darah sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun
sampai <bo mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denyut
jantung biasanya cenderung meningkat sebagai stimulasi simpatis, demikian pula
dengan frekuensi pernapadan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti
paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan
infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut
studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti
vena-vena di leher seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat
bergeser pasa pasien dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi
jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama
gallop dapat ttimbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang
bermakna.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan
menunjukkan beberapa tanda-tanda antara lain : pembesarah hati, pulsasi di
liver akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung
kanan yangsulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan
menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan.
Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkkn terjadinya penurunan
perfusi ke jaringan.
·
Diagnosis
Kriteria
untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh
Myocardial Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and
Blood Institute, Syok kardiogenik
ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Tekanan arteria sistolik < 90
mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di bawah batas bawah
sebelumnya.
2. Adanya
penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :
a. Keluaran
kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam kemih
b.
Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab
c. Terganggunya fungsi mental
3. Indeks
jantung < 2,1 L/(menit/m2)
4.
Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan baji kapiler
paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.
Kriteria ini mencerminkan
gagal jantung kiri yang berat dengan adanya gagal ke depan dan ke belakang.
Hipotensi sistolik dan adanya gangguan perfusi jaringan merupakan ciri khas keadaan syok. Penurunan yang jelas pada indeks
jantung sampai kurang dari 0,9 L/(menit/m2)
dapat ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas
2.7. Pemeriksaan Penunjang
·
Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu
untuk menetukan etiologi dari syok kardiogenik.
·
Foto rontgen thorax
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan
tanda-tanda kongetsi paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat.
Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat
infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai
kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti
paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan
atau keadaan hipovolemia.
·
Ekokardiografi
Modalitas
pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis
dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif cepat dan
aman. Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara
lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental),
fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas), tekanan ventrikel kanan
dan deteksi adanya shunt (misalnya
pada defek septal ventrikel dengan shunt dari
kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.
·
Pemantauan hemodinamik
Penggunaan
kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji
pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan
etiologi dari syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang
diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan
terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji
pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut
menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien
dengan gagal ventrikel kanan atau hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan
tekanan baji pembbuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter
hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload
(resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas
yang akan menghasilkan penurunan curah jantung
2.8.
Penatalaksanaan
Tahapan-tahapan
di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah sebagai berikut:
1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.
2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat,
bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi.
3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.
4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.
a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah)
minimal 60 mmHg
b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen
inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang
ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)
c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan
oksigenasi yang adekuat.
5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.
6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.
7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi
urine > 0,5 ml/kg BB/jam.
8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks.
9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada
harus diatasi dengan pemberian morfin.
10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per oral
atau intra muskular : 3-4 x/hari.
11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi:
a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan
pemberian digitalis.
b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus
diatasi dengan pemberian sulfas atropin.
12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama
dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara
parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau
pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP.
Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya,
tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana
untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok
kardiogenik. Caranya:
a.
Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg
(atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan
sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan
hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume
sebanyak 100 ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon,
berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara
klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila
PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai
awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai
awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b.
Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP
tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau
jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau
tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus
dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan
gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan
darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat
sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c.
Jika pada awal pemeriksaan
didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18
cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian
cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP),
perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.
d.
Jika nilai PCWP atau PAEDP pada
awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka
tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai
dengan pemberian vasodilator.
e.
Jika PCWP atau PAEDP menunjukan
nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan
dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut.
f.
Jika pasien menunjukan adanya
edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan
pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan
keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien
dievaluasi kembali.
13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume
intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung
sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade
jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk
mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.
14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan
pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan
perubahan dalam regimen terapi.
a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg,
dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal
jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload
dapat dilakukan sebagai terapi pertama.
Ada dua vasodilator yang sering digunakan,
yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus
dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal
jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap
10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung
meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah
menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi,
maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan
sampai maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka
dobutamin diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg
BB/menit atau Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.
Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih
kecil dalam penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses
iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat.
Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/
menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka
nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan
tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan
ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih
cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.
Selama periode ini, pemasangan intra aortic
ballon pump (IABP) counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan
tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan
kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan
tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan
dapat dipertimbangkan.
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan
indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik
adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, sarana untuk
kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini.
Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat,
norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan
darah sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan
dopamin.
Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin
dapat digunakan untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek
utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin.
Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka
terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan
bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat
digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.
c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium
kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5
liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat.
Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan
sering menunjukan respon dengan terapi cairan.
Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan
dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan
pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan > 20 mmHg.
Pemakaian vasodilator dan diuretik harus
dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada
dopamin.
Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik
tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
2.9.
Komplikasi
·
Cardiac
arrest
·
Tromboemboli
·
Multi
sistem organ failure
·
Stroke
·
Disritmia
2.10.
Prognosis
Prognosis
syok kardiogenik berdasarkan klasifikasi KILLIP : Klasifikasi Killip adalah sistem yang
digunakan pada individu dengan infark
miokard akut (serangan jantung), untuk stratifikasi risiko mereka. Individu
dengan kelas Killip rendah kurang mungkin untuk meninggal dalam 30 hari pertama
setelah infark miokard mereka daripada individu dengan kelas Killip tinggi. Klasifikasi
Killip dibuat sebagai berikut :
·
Tahap 1:
Tidak ada gagal jantung. Tidak ada tanda klinis dekompensasi jantung. Mortalitas 0-5 %
·
Tahap 2
Gagal jantung. Kriteria diagnostik termasuk krepitasi, gallop S3 dan
hipertensivena. Kongesti paru dengan ronki basah halus di bagian basal paru. Mortalitas 10-20%
·
Tahap 3
Gagal jantung parah. Edema paru Frank di semua bidang paru. Mortalitas 35-45 %
·
Tahap 4
Syok Kardiogenik. Tanda-tanda meliputi hipertensi (SBP ≤ 90 mmHg), dan bukti vasokonstriksi
perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaphoresis. Mortalitas 85-95 %
Bagian lengkap
No comments:
Post a Comment