Masalah
gizi bukan lagi hal yang dianggap sederhana. Bahkan hal ini telah masuk menjadi
salah satu indikator kesehatan
masyarakat. Dari 24 indikator yang menjadi dasar penetapan IPKM yang terbagi menjadi
tiga kategori bobot, yaitu kategori mutlak dengan bobot lima sebanyak sebelas
indikator, kategori penting dengan bobot empat sebanyak lima indikator, dan
kategori perlu dengan bobot tiga sebanyak delapan indikator. Untuk kategori mutlak
tiga di antaranya adalah indikator gizi yaitu prevalensi balita gizi kurang dan
gizi buruk, prevalensi balita pendek, dan prevalensi balita kurus. Hal tersebut
membuktikan bahwa masalah gizi bukanlah masalah yang sepele.
Ada dua jenis masalah yang muncul
akibat malnutrisi yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi lebih dalam dua
dekade terakhir meningkat akibat perubahan pola hidup masyarakat terutama di
daerah urban. Bahkan masalah gizi lebih ini telah menjadi polemik sendiri di negara
maju. Gizi lebih dapat dinilai dari berat badan. Dari data yang dihimpun WHO
tahun 2008 menyebutkan bahwa sekitar 1.5 miliar penduduk dewasa mengalami
kelebihan berat badan, 200 juta pria dewasa mengalami obesitas, dan lebih dari
300 juta wanita mengalami obesitas. Sebuah studi pada tahun 2008 oleh Centers for Disease Control di Atlanta
yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan hampir satu dari lima anak usia
6-11 tahun dan 18,1 persen anak usia 12-19 tahun yang menderita obesitas. Di
Indonesia sendiri pada tahun 2003 terdapat 2.24 % balita yang mengalami gizi
lebih, sedangkan data untuk penduduk di atas 15 tahun terdapat 10.3 % mengalami
gizi lebih.
Data di atas menunjukan betapa besarnya
jumlah penderita gizi lebih di Indonesia. Penyebab yang paling nyata adalah
perubahan ekonomi. Perubahan ini terjadi akibat pasar globalisasi dan
modrenisasi di semua aspek. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk
yang berat badan lebih ataupun obesitas lebih banyak terjadi di daerah
perkotaan. Peningkatan ekonomi ini menyebabkan perubahan pola hidup, mulai dari
pola makan dan aktivitas fisik. Makanan yang awalnya lebih banyak persentase
karbohidrat kini telah berubah menjadi lebih banyak persentase lemak, seperti fast food. Jenis makanan yang seperti ini akan
meningkatkan persentase lemak tubuh yang akhirnya akan berimplikasi kepada
kelebihan berat badan.
Selain
faktor ekonomi, faktor cahaya lampu secara tidak langsung juga mempengaruhi
gizi lebih dan obesitas. Penelitian terbaru dari Reuroscience di Ohio State University menemukan bahwa semakin banyak cahaya pada
saat kita makan, maka resiko untuk mengalami kelebihan berat badan semakin
tinggi. Penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba. Tikus-tikus
tersebut diperlakukan dalam tiga kondisi. Kondisi pertama tikus diberi terpaan
cahaya selama 24 jam terus-menerus, kondisi kedua tikus diberi terpaan cahaya
dengan siklus standar terang selama 16 jam dan gelap selama 8 jam, sedangkan
kondisi ketiga tikus diberi terpaan cahaya terang selama 16 jam dan cahaya
redup selama 8 jam. Para peneliti mengukur berapa banyak makanan yang dipakai
tikus setiap hari. Selain itu mereka juga mengukur berapa banyak mereka
bergerak di sekitar kandang mereka setiap hari melalui sistem persimpangan
sinar inframerah. Kemudian massa tubuh tikus dihitung setiap minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tikus dengan cahaya redup saat malam massa tubuhnya
meningkat lebih tinggi dari tikus yang hidup dalam siklus standar terang dan
gelap. Berat badan tikus terus meningkat sejak minggu pertama penelitian. Pada
akhir penelitian tikus yang hidup dengan cahaya redup malam hari berat badannya
lebih kurang 12 gram sedangkan tikus yang hidup dengan siklus standar terang
dan gelap berat badannya 8 gram. Tikus yang mendapat terpaan cahaya terus-menerus
juga memiliki berat badan lebih besar dari tikus yang hidup dengan siklus
standar terang dan gelap.
Faktor lain
yang mempengaruhi gizi lebih dan obesitas adalah kebiasaan ketika makan. Salah
satu kebiasaan yang buruk ketika makan adalah makan di depan komputer atau
televisi, karena hal ini akan mengakibatkan jumlah makanan yang masuk ke mulut
akan lebih banyak.
Selain asupan
makanan, hal lain yang dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas adalah faktor
aktivitas. Kurangnya aktivitas dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas. Salah
satu yang menyebabkan berkurangnya aktivitas seseorang adalah tuntutan
pekerjaan. Tuntutan pekerjaan pada saat ini menyebabkan kebanyakan penduduk
lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di kursi dari pada bergerak. Ditambah
lagi kesadaran berolahraga yang masih kurang di kalangan masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat meningkatkan resiko berat badan berlebih. Dari analisis lebih
lanjut didapatkan seorang remaja yang menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per
hari dengan menonton televisi memiliki resiko obesitas 12.3 kali lebih besar
dari pada remaja yang menonton televisi yang kurang dari 3 jam per hari.
Walaupun kita
mengetahui bahwa berat badan berlebih tidak akan terjadi apabila seseorang
tidak memiliki faktor genetik untuk gizi lebih atau obesitas. Apabila kedua
orang tua gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan anak menderita berat badan
berlebih sekitar 80%, sedangkan apabila salah satu dari orang tua mengalami
gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan itu menjadi setengahnya atau 40 %.
Faktor-faktor
sosiokultural juga berperan penting dalam gizi lebih dan obesitas, seperti masih
banyaknya masyarakat yang berpendapat bahwa gemuk adalah lambang kemakmuran.
Pendapat seperti ini dapat memicu peningkatan jumlah konsumsi kalori pada
masyarakat tersebut. Anggapan “gemuk makmur” ini berimplikasi pada orang tua
yang akan senang ketika anaknya memiliki berat badan lebih. Padahal apabila
pada waktu masih anak-anak berat badannya sudah berlebih akan meningkatkan
faktor resiko menjadi berat badan berlebih pada waktu dewasa.
Prevalensi
ini akan terus meningkat, mengingat
setiap anak yang memiliki faktor predisposisi genetik akan tinggal bersama
dengan orang tua yang telah terbiasa dengan pola hidup sedentary. Peneliti memprediksi 8 dari 10 pria dan 7 dari 10 wanita
akan mengalami obesitas pada tahun 2020. Penelitian yang dilakukan ini mengambil
sampel di satu negara maju yakni Inggris. Negara maju dan negara
berkembang cenderung memiliki gaya hidup
seragam saat ini. Sehingga dapat diperkirakan trend obesitasnya antara negara maju dan negara berkembang akan
sama.
Konsekuensi
gizi lebih dan obesitas adalah meningkatnya resiko kematian. Seseorang yang
memiliki kelebihan berat badan sebesar 40% dari normal, diperkirakan meninggal 8 tahun
lebih cepat dari pada populasi
rata-rata. Peningkatan mortalitas ini terjadi karena insiden diabetes melitus
tipe dua, penyakit jantung koroner, penyakit kandung kemih, osteoarthritis atau
radang sendi, stroke, dan kanker.
Sedangkan pada anak-anak dapat menimbulkan gangguan seperti dislipidemia,
stenosis hepatis, gangguan saluran pencernaan, dan sleep apnea.
Pada orang yang
menderita gizi lebih prevalensi munculnya kanker 30% lebih tinggi dibanding
orang yang memiliki berat badan ideal. Jenis kanker yang sering muncul adalah kanker
ginjal, kanker rahim, kanker payudara, kanker esophagus, kanker pancreas, dan kanker
kolon.
Berat badan
lebih dan obesitas adalah penyakit mahal. Bahkan untuk negara maju peningkatan jumlah
penyakit akibat gizi lebih dan obesitas dalam beberapa dekade terakhir telah
menguras anggaran kesehatan. Di Australia telah menghabiskan dana 464 juta
dolar Australia , 12 milyar franc di Perancis, 1 milyar golden di Belanda, dan
45,8 juta dolar Amerika di Amerika Serikat. Dana yang dikeluarkan itu merupakan
direct cost, artinya dana yang berhubungan langsung dengan gizi lebih dan
obesitas yang sebagian besar merupakan akibat penyakit jantung koroner dan
hipertensi. Sedangkan kerugian akibat berkurangnya produktifitas akibat
kematian dini dan morbiditas pasti lebih besar lagi.
Di Indonesia
belum diketahui besar kerugian akibat penyakit yang berhubungan dengan gizi
lebih dan obesitas. Hal ini disebabkan masih kurangnya studi tentang biaya yang dikeluarkan untuk
mengatasi masalah tersebut. Tetapi melihat yang terjadi di negara lain dapat
diperkirakan biaya yang akan dikeluarkan negara berkembang pasti lebih besar
lagi. Hal tersebut disebabkan Indonesia masih mengimpor alat-alat kedokteran
dan obat-obatan demi kepentingan rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.
Untuk mengatasi
masalah gizi lebih dan obesitas ini tak cukup dengan hanya mengandalkan tenaga
kesehatan. Hal ini disebabkan gizi lebih dan obesitas sangat kompleks sehingga
membutuhkan kerjasama semua lapisan masyarakat. Strategi yang harus dilakukan
agar hasilnya lebih optimal adalah tindakan preventif dan promotif. Jika
dioptimalkan pada tindakan kuratif dan rehabilitatif maka dana yang disediakan
tidak akan cukup (WHO, 2000). Ironinya, di lapangan dana yang dikucurkan untuk
usaha promotif dan preventif hanya 10 % sedangkan dana untuk kuratif dan
preventif sekitar 60 – 85 %. Hal ini menyebabkan usaha promotif dan preventif
kurang maksimal.
Usaha promotif
dan preventif yang paling penting adalah dengan menyadarkan masyarakat itu
sendiri. Usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dari berbagai
aspek. Di lihat dari segi pendidikan, kementrian pendidikan nasional dapat
memasukan materi gizi ke dalam kurikulum pendidikan. Memang sebelumnya telah
ada materi gizi, namun hal itu hanya sepintas lalu dan hanya membahas satu
aspek yaitu gizi kurang. Diharapkan dari kurikulum yang lebih komprehensif
masyarakat mulai disadarkan sejak di bangku sekolahan. Dari pendidikan dasar
ini paradigma “gemuk makmur” sedikit demi sedikit akan terkikis.
Di sektor lain
usaha yang dapat dilakukan oleh kementrian perdagangan yaitu mewajibkan semua
produk makanan untuk mencantumkan label kadar kalori dari produk makanan tersebut
baik yang ada dalam kemasan maupun jenis masakan cepat saji. Pencantuman ini
akan membantu masyarakat untuk menghitung intake
kalori. Label ini juga membantu komunikasi antar produsen dan konsumen mengenai
hal-hal tentang pangan yang dibutuhkan konsumen. Bagi produsen sendiri label
tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi.
Usaha dari
tenaga medis dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang
gizi lebih dan obesitas terutama di sekitar perkotaan. Dalam penyuluhan ini
dijelaskan tentang bahaya laten dari gizi lebih dan obesitas. Promosi tentang
diet yang seimbang serta olahraga yang cukup juga perlu ditekankan. Sebagai
komunitas terkecil, keluarga dapat menghabiskan waktu liburan dengan beraktivitas bersama. Hal ini bertujuan
untuk mengajarkan kepada anaknya agar tidak menganut sedentary life, selain
untuk mengeratkan hubungan antar anggota keluarga tersebut.
Dari uraian di atas jelas sekali
masalah gizi dan kesehatan di masyarakat di masa yang akan datang menjadi
semakin kompleks dan menjadi tantangan pembangunan masyarakat. Kompleksitas
masalah gizi dan kesehatan ini menuntut perhatian dari semua pihak baik
pemerintah maupun masyarakat. Jika dibiarkan saja bukan tidak mungkin prediksi
tahun 2020 akan terwujud atau bahkan lebih tinggi.
No comments:
Post a Comment