Definisi
Penyakit Demam Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (1).Demam Dengue / DF dan demam berdarah dengue / DBD ( Dengue hemorrhagic fever / DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenipati, trombositopenia dan diatesis hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (Dengue shock syndrome ) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. (2)
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh suatu virus yang menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah sehingga menyebabkan perdarahan.(3)
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berta molekul 4x106. (2)(6)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavirus lain seperti Yellow fever, Javanese enchphalitis dan West Nile Virus. (2)(6)
Patogenesis
Dengan terhisapnya darah viremik oleh vektor, virus berkembang biak dan setelah suatu periode tertentu, virus akan ditemukan di dalam kelenjar ludahnya. Vektor siap untuk meneruskan rantai penularan. Waktu yang diperlukan sejak vektor menghisap darah viremik sampai vektor siap meneruskan rantai penularan disebut masa tunas ekstrinsik dan untuk virus dengue kara-kira 8-10 hari. (2)(3)
Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel sistem retikuloendotel dan menimbulkan viremia yang dimulai menjelang gejala klinik tampak sampai 5-7 hari setelahnya. Sebagai rewaksi terhadap infeksi tubuh akan membuat antibodi anti dengue, baik berupa antibodi netralisasi, antibodi penghambat aglutinasi, dan antibodi pengikat komplemen. Pada infeksi primer, antibodi yang pertama timbul adalah antibodi netralisasi, yaitu pada hari kelima minggu pertama- minggu keempat untuk kemudian turun dengan lambat dan keberadaannya dapat bertahan seumur hidup. Antibodi netralisasi merupakan antibodi yang paling spesifik untuk tipe virus penyerang (type-spesific antibody). (2)(3)
Beberapa hari kemudian, antibodi hambatan hemaglutinasi timbul dan naik titernya sejajar dengan kenaikan titer antibodi netralisasi untuk kemudian menurun lebih cepat daripada antibodi netralisasi dan bertahan dalam tubuh bertahun-tahun. Antibodi hambatan hemaglutinasi sangat bereaksi silang dengan tipe virus dengue yang lain dan juga dengan anggota flavivirus lain (group spesific antibody). (2)(3)
Antibodi ketiga yang timbul adalah antibodi pengikat komplemen. Antibodi ini timbul mulai minggu kedua-ketiga dan titernya naik cepat hampir sejajar dengan kenaikan titer antibodi hambatan hemaglutinasi dan mencapai titer maksimum setelah satu-dua bulan atau setelah penyakitnya hilang. Kemudian antibodi ini turun dalam 1-3 tahun. Antibodi pengikat komplemen juga bereaksi silang dengan flavivirus lain. (2)(3)
Patofisiologi perdarahan pada demam berdarah dengue belum diketahui pasti karena belum adanya bibatang model yang tepat untuk percobaan. Beberapa fakta yang telah diketahui dan dianggap terkait dengan kejadian perdarahan adalah:
1. Virus Dengue mampu berikatan dengan sel trombosit dan dengan bantuan antibodi anti dengue, trombosit mengalami agregasi.
2. Fungsi trombosit pada penderita demam berdarah dengue terganggu.
3. Konsumsi komplemen pada penderita demam berdarah dengue meningkat sebagai akibat pengaktivan sistem komplemen.
4. Pada mencit, infeksi dengue merangsang sel limfosit T membentuk limfokin. Limfokin diketahui mampu merangsang pelepasan histamin dan sel pengandungnya.
5. Terjadinya aktivasi sistem kinin yang berperan dalam proses koagulopati.
6. Sel monosit terinfeksi virus dengue mengekspresikan penghambat plasminogen activator 2-3 kali lebih banyak dari pada sel normal. Zat ini diketahui mampu menyebabkan ketidakseimbangan hemostasis.
7. Adanya klon sel limfosit T yang teraktivasi oleh virus dengue dan klon ini mampu melisiskan sel yang terinfeksi oleh virus dengue tipe lain.
8. Antigen virus dengue dan sel monosit terinfeksi virus dengue merangsang limfosit manusia membentuk interferon alfa dan gamma. Interferon gamma ini in vitro diketahui mampu merangsang masuknya virus ke dalam sel.
9. Virus dengue mampu berkembang biak dalam sel endotel manusia dan telah diketahui bahwa integritas sel endotel ini penting dalam sistem hemostasis.
10. Gambaran patologi bahan otopsi menunjukkan adanya depresi sumsum tulang termasuk alur megakariosit.
11. Penderita demam berdarah dengue lebih banyak ditemukan pada infeksi sekunder yang terjadi oleh virus dengue tipe 2 atau 3. Selain itu telah pula dilaporkan adanya kasus-kasus demam berdarah dengue pada infeksi primer. Data ini menunjukkan bahwa virulensi virus dengue mungkin tidak sama, galur-galur tertentu mungkin lebih virulen daripada yang lainnya.
Manifestasi Klinis
Spektrum klinik infeksi virus dengue sangat beragam, mulai yang asimptomatik, demam ringan, demam dengue sampai demam berdarah dengue. Yang disebut terakhir dapat pula menyebabkan renjatan dan/atau ensefalopati. (2)(3)
Pada bayi dan anak, demam dengue bermanifestasi sebagai demam yang disertai ruam makulopapuler. Pada anak lebih besar dan dewasa, manifestasinya lebih berat dan menimbulkan trias gejala yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam makulopapuler. Demam dengue akan sembuh tanpa meninggalkan gejala sisa dan biasanya tidak menyebabkan kematian. (2)(3)
Gejala utama pada demam berdarah adalah demam tinggi, fenomena perdarahan dan hepatomegali. Pada anak sering pula disertai rasa nyeri di perut. Kadang-kadang terjadi kegagalan sirkulasi. Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan khas. Hemokonsentrasi dan peningkatan nilai hematokrit yang terjadi sebagau akibat adanya kebocoran plasma adalah pembeda utana denam dengue dan demam berdarah dengue. (5)
Demam biasanya timbul mendadak dan disertai gejala tak khas lain. Demam biasanya tinggi dan berlangsung selama 2- 7 hari untuk kemudian kambali menjadi normal. Pada awal demam, fenomena perdarahan berupa petekie mungkin ditemukan di ekstremitas, muka,aksila dan palatum molle. Sementara ruam makulopap, minimal uji tourniuler mungkin ditemukan pada masa konvalesen penyakit. Hati biasanya membesar tetapi jarang disertai splenomegali. Kegagalan sirkulasi biasanya terjadi pada masa suhu tubuh telah turun. (2)(3)
Menurut World Health Organization, secara klinis diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan jika ditemukan dua kriteria klinik ditambah trombositopenia (kurang dari 100.000 per ml) dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit minimal 20 %. Kriteria klinik dimaksud adalah:
1. Demam mendadak, tinggi, dan berlangsung 2-7 hari.
2. Fenomena perdarahan, minimal uji tourniquet positif.
3. Hepatomegali
4. Renjatan.
Berdasarkan rincian gejalanya, demam berdarah dengue dibagi atas empat yaitu:
1. Derajat 1:
Jika gejala perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif.
2. Derajat 2:
Jika gejala perdarahan spontan.
3. Derajat 3:
Jika gejala kegagalan sirkulasi mulai tampak. Nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun.
4. Derajat 4:
Jika renjatan menjadi berat. Nadi seringkali tak teraba.
Selain menimbulkan sindroma gejala seperti di atas, infeksi dengue juga menimbulkan sindroma unusual dengue atau demam berdarah dengue tak lazim. Dalam hal ini terjadi gejala ensefalopati dan/ atau renjatan. (2)(3)
Diagnosis
Menegakkan diagnosis DHF terkadang masih menjadi masalah bagi para petugas kesehatan, karena pada awalnya gejala yang ditunjukkan hampir sama dengan penyakit demam lainnya. Apakah itu termasuk dengue fever (DF), akan menjadi DHF atau dengan gejala lebih berat yang disebut dengan dengue shock syndrome (DSS). Di samping gejala klinis seperti adanya demam, manifestasi perdarahan, pembesaran hati atau shock, diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis DHF. Pada dasarnya masih mengacu pada kriteria WHO tahun 1997. (5)
Demam berdarah dengue ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi :
• Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
• Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
1. Uji bendung positif.
2. Petekie, ekimosis, atau purpura.
3. Perdarahan mukosa ( epistaksis atau perdarahan gusi ) atau perdarahan di tempat lain.
4. Hematemesis atau melena.
• Trombositopenia ( jumlah trombosit < 100.000/µL).
• Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma yaitu :
1. Peningkatan haemtokrit > 20 % sesuai dengan standar umur dan jenis kelamin.
2. Penurunan hematokrit > 20 %stelah mendapat terapi cairan, disbanding nilai hematokrit sebelumnya.
3. Tanda-tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, atau hiponatremia. (10)
Perbedaan utama antara demam dengue dengan demam berdarah dengue adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Untuk menunjang diagnosis DBD dapat digunakan parameter-parameter laboratorik, antara lain :
• Leukosit, awalnya : menurun ? normal, pada fase akhir, dapat ditemui limfositosis relative ( LPB > 15 % ), yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombositopenia dan hemokosentrasi selalu ditemui pada DBD.
• Kelainan pembekuan sesuai derajat penyakit.
• Protein plasma menurun.
• Hiponatremia pada kasus berat.
• Serum alanin-aminotransferase sedikit meningkat.
• Isolasi virus terbaik saat viremia ( 3-5 hari )
• IgM pada infeksi primer terdeteks hari ke 5, meningkat sampai minggu III, menghilang setelah 60-90 hari.
• IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada pada hari ke 14, pada infeksi sekunder mulai hari kedua.
• Uji HI, dengue blot. (11)
Penatalaksanaan
Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah. Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah.
Cara pencegahan DBD :
- Bersihakan tempat penyimpanan air ( bak mandi, WC ).
- Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air.
- Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol bekas ).
- Tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar bambu dengan tanah.
- Lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di situ.
- Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin untuk membunuh jintik-jintik nyamuk ( ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali.
Pengobatan
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. (3)
A. Jenis-Jenis Cairan
1. Larutan kristaloid
Cairan yang dapat diberikan pada penderita DBD menurutWHO ialah cairan Dextrose 5% - Saline fisiologik , pada DSS dapat diberikan larutan Ringer Laktat (RL), dextrose 5% - saline fisiologik, dektrose 5%-0,5 saline (D5-0,5S), dextrose 5%-0,5 RL atau dextrose 5%-1/3 saline.. Pemilihan larutan ini dalam terapi DBD ialah dengan pertimbangan pada DBD perbedaan tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler menurun sehingga bila diberikan larutan isotonik atau hipotonik dapat memperberat terjadinya cairan ekstravaskuler (efusi pleura). Dalam keadaan normal pada kapiler arterial terdapat perbedaan antara tekanan hidrostatik (35 mmHg) yang mendorong air keluar pembuluh darah dengan tekanan osmotik cairan (25mmHg) yang menahan air keluar vaskuler. Di lain pihak pada kapiler venous perbedaan terjadi karena menurunnya tekanan hidrostatik (15 mmHg) sedangkan tekanan osmotik tetap (25mmHg). Dengan demikian jumlah cairan yang keluar dari kapiler arterial sama dengan cairan yang masuk ke kompartemenintravaskuler di daerah kapiler venous.
Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan penambahan volume vaskuler hanya dalam waktu yang singkat karena larutan tersebut akan segera didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15ml masuk ke dalam ruang interstisial. Pada DBD dimana
terjadi kebocoran plasma mungkin lebih banyak larutan RL yang masuk ke ruang interstisial karena menurunnya perbedaan tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler. Secara teoritis pemberian larutan Dextrose 5%-0,5 saline yang bersifat hiperosmotik mungkin dapat mengurangi redistribtisi larutan ke ruang interstisial dan dengan demikian efek ekspansi vaskuler lebih lama dari RL (4)
2. Larutan koloid
Dalam upaya menurunkan kematian DSS dirasakan perlunya pemberian larutan yang dapat dengan segera memperbaiki volume intravaskuler dan aliran darah, tanpa memperberat risiko bertambahnya efusi pleura.
Untuk mengatasi renjatan selain pemberian cairan kristaloid dipikirkan juga pemberian cairan koloid yang bertahan lebih lama dalam sirkulasi dan mudah dimetabolisme bila terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan.
Mengingat kelainan utama pada DBD/DSS adalah bertambahnya permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma, maka dalam pemilihan larutan koloid dipertimbangkan sifat sebagai berikut :
1) Oleh karena pada DBD terjadi kebocoran plasma, dipilih larutan koloid golongan karbohidrat (dextran atau HES),dengan pertimbangan bila keluar dari ruangan intravaskuler ke kompartemen interstisial dapat dimetabolisme dengan tuntas menjadi H2O dan CO2
2) Manfaat ekspansi/pengembangan volume vaskuler. Berdasarkan pengamatan Himalgyi efek pemberian koloid terhadap volume vaskuler dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
a) Ekspander fase dini (early phase volume expander)
Pada golongan ini efek dini terhadap ekspansi volume koloid yang diberikan akan tetapi segera setelah infus dihenti-kan menurun kembali dan dapat menimbulkan hipovolemi lagi oleh karena sebenarnya jumlah koloid yang diberikan kurang dari kebutuhan. Termasuk dalam golongan ini ialah larutan koloid hiperonkotik antara lain 10% dextran 40,6% HES 200/0,5 dan10% HES 200/0,5
b) Ekspander fase lambat (late phase volume expander)
Larutan koloid golongan ini pada awalnya tidak bersifathiperonkotik. Pada fase awal manfaat ekspansi 80% dari jumlah koloid yang diberikan, sehingga larutan koloid yang diberikan melebihi jumlah defisit. Pada fase selanjutnya terjadi pemecahan HES molekul besar oleh amilase darah menjadi HES molekul kecil yang masih bersifat koloid sehingga efek lambat dari koloid ini ialah larutan bersifat hiperonkotik, cairan ekstraseluler masuk kedalam lumen intravaskuler, dengan daya eks-pansi sebesar 190% dari jumlah/volume yang diberikan dengan
risiko dapat terjadi oedem paru. Termasuk dalam kelompok ini ialah 6% HES 450/0,7.
c) Volume replacement solution
Larutan koloid 6% dextran 60,5% dextran 40 dan 6% HES 40/0,5 bersifat isoonkotik, efek terhadap ekspansi volume intravaskuler berjumlah 100% dari jumlah koloid yang diberikan.
3) Metabolime dan lamanya tissue persistence bila larutan koloid keluar dari pembuluh darah(24).
Hal ini penting untuk dipertimbangkan oleh karena pada DBD/DSS terjadi kebocoran plasma sehingga secara teoritis koloid dengan BM rendah mungkin ikut keluar dari pembuluh darah (ekstravasasi). Metabolisme dextran dan HES 40 sama
yaitu ekskresi terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui traktus gastrointestinalis. Sisanya diambil oleh hati, limpa dan ginjal dan pada organ ini dipecah secara tuntas menjadi H2O dan CO2. Sebagian kecil koloid yang diinfuskan mengalami ekstravasasi dan menetap dalam jaringan. Makin banyak koloid yang mengalami ekstravasasi dan makin lambat metabolismenya makin besar kerusakan jaringan terutama pada kelenjar limfe, hati dan ginjal. Begitu pula makin besar BM koloid dan akin banyak ikatan hydroxyetilglycosid, makin banyak sisa koloid di jaringan. Fraksi residu dari 6% HES 450/0,7 berjumlah 37%, 10% HES 200/0,5 berjumlah 26%, 6% HES 200/0,5 berjumlah 28% dan 6% HES 40/0,5 berjumlah 2%.
4) Hipersensitivitas
Frekuensi reaksi alergik setelah pemberian dextran berkisar antara 0.002%-4,6% pada pemberian HES berkisar antara 0,08%-2,6%. Cardio-Respiratory arrest hanya timbul pada pemberian dextran terutama dextran 60 dan HES 450, renjatan pada pemberian HES 200 sedangkan reaksi alergi pada pemberian HES 40 bersifat ringan sampai sedang.
5) Efek rheologik dari larutan koloid yang bermanfaat dalam pencegahan terjadinya komplikasi lebih lanjut dari DSS.
Efek rheologik meliputi:
1. Penurunan viskositas darah.
2. Penurunan viskositas plasma darah.
3. Efek dis-agregasi terhadap eritrosit.
4. Memperbaiki fleksibilitas eritrosit.
5. Efek dis-agregasi terhadap trombosit.
6. Sirkulasi mikro dan perfusi jaringan.
Dextran dan HES molekul besar menurunkan viskositas darah tapi tidak menurunkan viskositas plasma darah. 10% Dextran 40 menyebabkan kenaikan viskositas plasma darah dan mengurangi fleksibilitas eritrosit. Sedangkan 6% HES 40/0,5 memberikan semua efek rheologik di atas. Efek dis-agregasi eritrosit disebabkan karena dilusi dari aggregating protein (fibrinogen dan α 2 makroglobulin) serta pada pemberian koloid muatan listrik positif pada dinding eritrosit bertambah sehingga sesuai dengan hukum fisika akan memberikan efek saling menolak/menjauh sehingga tidak mudah terjadi agregasi (rouleux formation). Keadaan tersebut terjadi pula pada trombosit sehingga agregasi trombosit dicegah sehingga kemungkinan terjadinya KID dikurangi. Pada pemberian cairan kristaloid muatan listrik positif berkurang sehingga terjadi tendensi untuk saling mendekat dan terjadi agregasi. Daya menurunkaagregasi trombosit HES 40 lebih baik dari Dextran.
Efek rheologik tersebut menyebabkan aliran darah lebih lancar, eritrosit lebih fleksibel sehingga mikrosirkulasi dan perfusi jaringan lebih baik dan dapat mencegah terjadinya asidosis metabolik. Sifat 6% HES 40/0,5 secara teoritis dapat memperbaiki
renjatan dengan risiko efusi pleura minimal serta efek rheologiknya dapat mencegah komplikasi lebih lanjut dari DSS termasuk KID dan perdarahan hebat. (4)
3. Larutan Albumin
Larutan albumin 5% bersifat isoonkotik sedangkan larutan albumin 25% bersifat hiperonkotik dengan daya ekspansi volume tiap 1 g (4 ml) dapat menarik air dari ekstravaskuler sebanyak 18 ml. Pemberian albumin 25% secara bolus mungkin menaikkan tekanan onkotik plasma sehingga air dan elektrolit masuk ke pompartemen intravaskuler dengan demikian memperbaiki volume intravaskuler. Sifat dan manfaat larutan albumin sama dengan plasma darah. (4)
Indikasi Pemberian Cairan
Indikasi pemberian cairan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan penderita, yaitu sebagai berikut:
A.Peroral
Cairan peroral diberikan untuk mencegah terjadinya dehidrasi yang disebabkan oleh demam tinggi, banyak keringat, nafsu makan dan minum kurang, dan muntah-muntah. Jumlah cairan yang diberikan adalah sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan penderita, diminum sedikit-sedikit tapi sering.
Oleh karena tubuh tidak hanya kehilangan cairan, akan tetapi juga kekurangan elektrolit, maka jenis cairan yang terbaik diberikan adalah oralit atau jus buah-buahan dibandingkan dengan air putih biasa. WHO, menganjurkan cairan yang diberikan adalah seperti pada pengobatan diare, yaitu cairan yang terdiri dari 3,5 gr sodium chloride, 2,9 gr trisodium citrate dihydtrate, 1,5 gr potassium chloride, dan 20,0 gr glucose, dilarutkan didalam 1 liter air. (1)
b.Parenteral
Cairan secara parenteral diberikan pada keadaan :
àPasien tidak dapat makan dan minum
àMuntah-muntah hebat sehingga memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi
àTerjadi peningkatan hematokrit 10-20%, atau penurunan jumlah trombosit
Jenis cairan yang terbaik diberikan adalah : Kristaloid (Cairan pilihan adalah Ringer lactat atau acetat), diberikan 4 jam/kolf sampai keadaan membaik. Apabila pasien muntah-muntah hebat dan memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi, koreksi keadaan dehidrasi dengan memberikan cairan sebanyak 10 ml/KgB.B, selama 1-2 jam, dan dipantau tiap 4 jam sampai keadaan dehidrasi membaik. Pemberian cairan ini dapat dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan pasien dapat dipulangkan kalau keadaan homeostatik sudah stabil, dengan anjuran berobat ke poliklinik sesudah 2x24 jam kemudian (1)
Protokol Penatalaksanaan DBD
Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:
- Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.
- Praktis dalam pelaksanaannya.
- Memperhatikan cost effectivness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
- Protokol 1
Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok. Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit(Ht), dab trombosit, bila:
1. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,Ht leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat Darurat.
2. Hb, Ht, normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk di rawat
3. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat. (2)(3)
- Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangkan DBD dewasa di ruang gawat. Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
1500+ {20x(BB dalam kg-20)}
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Ht, Hb tiap 24 jam:
1. Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti diatas tetapi pemantauan Hb,Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam
2. Bila Hb, Ht meningkat >20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 % (2)(3)
- Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%. Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus kembali dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat diberhentikan 24-48 jam kemudian. (2)(3)
- Protokol 4
Penataksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa. Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena atau hematokezia), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, urin, nadi, pernafasan dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pmeriksaan HB,Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. (2)(3)
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular disseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai HB kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID. (2)(3)Pemberian transfusi trombosit juga harus dilakukan hati-hati dengan melihat komponen sistem pembekuan darah yang lain. Oleh karena itu, jumlah trombosit yang rendah bahkan lebih rendah dari 20.000 tanpa perdarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi dilakukan transfusi trombosit.(7)
- Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa. Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrome syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan /pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tetap termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. (2)(3)
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 l/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. (2)(3)
Komplikasi
Komplikasi DHF diantaranya:
- Shock karena adanya perdarahan yang berat pada multi organ termasuk di otak.
- Intoksikasi cairan sebagai akibat dari pemberian cairan yang tidak tepat.
- Ensefalopathic karena DIC yang berat
- Gagal Ginjal pada stadium terminal
- Kejang karena demam pada anak-anak
- Paresis transient (10)