5. Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil
akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata
atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan
corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel,
kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan
sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida
akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan
membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat
dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan
dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah
darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka
akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat
menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola
nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi
intoleransi aktifitas.
6. Gejala
Klinis
Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status
kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah
atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat singkat hanya satu
hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan,
panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya
tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane
putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membrane tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar
diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membrane biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya
proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan.
Gejala local dan sistemik secara bertahap
menghilang dan membrane akan menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk
difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri. Bentuk ini timbul
dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi
faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat
disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel
jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah
mandibula sehingga member gambaran bullneck.
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan
yaitu :
a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran
nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar
limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi ( bullneck ).
Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala
yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari
pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian
tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf
cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.
3. Pemeriksaan
Penunjang
1. Schick test
Menentukan kerentanan ( suseptibilitas)
terhadap diftery. Tes dilakukan dengan menyuntikkan toksin diftery (dilemahkan)
secara intra kutan bila tidak terdapat kekebalan anti toksik akan terjadi
nekrosis jaringan sehingga tes menjadi positif.
Tes kulit ini digunakan untuk
menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak
mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah
beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji
schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan
dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun
pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan
kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit,
dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
3. Pemeriksaan
MikrobiologiUji Kepekaan Moloney : untuk menentukan sensitivitas
terhadap produk bakteri dari basil difteri (hati-hati terjadi reaksi
anafilaksis). Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diftery
toksoid secara suntikan intra dermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul
eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa pernah terpapar pada basil difteri
sebelunnya sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas.
Bagian lengkap
No comments:
Post a Comment