Monday, August 10, 2015

Difteri (Bagian 4)

8.    Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
a.              Menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya
b.              Mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan
c.              Mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal
d.              Mengobati infeksi penyerta dan penyulit

         Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a. Biakan hidung dan tenggorok
b.Dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK  test - : pengobatan karier’
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).
Pasien diisolasi sampai masa akut terlewati dan biakan hapus tenggorok negatif 2x berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Tirah baring lebih kurang 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteri laring, dijaga agar napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.

PENGOBATAN
1. Antibiotika
         Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila penderita sensitif terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan erithromycin dapat digunakan selama 7 -10 hari.
·   Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
·   Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
         Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk memberantas toxin, ataupun membantu kerja antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin.

2. Antitoxin [ ADS]
         Selama infeksi toksin difteri ada 3 bentuk :
1. Toksin bebas dalam darah
2. Toksin bergabung dengan jaringan secara tidak erat
3. Toksin bergabung erat dengan jaringan
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah 1 dan 2.
Secara ideal bila penderita tidak alergi, antitoksin sebaiknya diberikan secara intravena.
Keuntungan pemberian antitoksin intravena
, ‘Peak level’ serum antitoksin dapat dicapai dalam waktu 30 menit, sedangkan secara IM dicapai dalam waktu 4 hari.
         Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari binatang, yaitu dari serum kuda. Sebelum digunakan harus terlebih dahulu dilakukan test.

         Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara:
0,1 ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu  20 menit dijumpai erythema dengan diameter > 10 mm pada bekas tempat suntikan, atau pada test mata dijumpai adanya conjunctivitis dan pengeluaran air mata.
Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu cara yang digunakan adalah:
1.      0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
2.      0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
3.      0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.
4.      0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C.
5.      0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
6.      0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
7.   0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.
         Bila tidak dijumpai reaksi, sisa dari antitoxin dapat diberikan secara perlahan melalui infus. Bila dijumpai reaksi dari pemberian antitoxin, harus segera diobati dengan pemberian epinephrine [1:1000 ]secara I.V.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena

Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi. Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
3.              Kortikosteroid
       Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck). Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
·         Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
·         Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
4.      Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen "acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung "whole cell pertusis" (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen "whole cell pertussis ", dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan
a)   Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b)   Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pemah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga I tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer lebih besar dari 0,01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif adalah 0,01 IU). Dalam penelitian terhadap bayi yang mendapat imunisasi DPT di Jakarta, dilaporkan bahwa:
1.)    Antara 71-94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria
2.)    Setelah mendapatkan imunisasi DPT 3 kali didapatkan 68-81% telah memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria dengan rata-rata 0,0378 IU/ml.
            Lama kekebalan setelah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan setelah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.
                Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
            Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sarna bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

9.    Komplikasi
a.       Miokarditis
·         Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
·         Pemeriksaan fisis : irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
·         Gambaran EKG : depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, BBB, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT.
·         Lab : kadar enzim jantung meningkat (LDH, CPK, SGPT, SGOT)
·         Rontgen : Jantung membesar bila terdapat gagal jantung
b. Kolaps Perifer
·         Terjadi pada akhri minggu I perjalanan penyakit
·         Tanda-tanda kolaps perifer (renjatan) :
a.       Tekanan darah menurun (systole ≤ 80 mmHg)
b.      Teklanan nadi menurun
c.       Kulit keabu-abuan, dingin dan basah.
d.        Anak gelisah.

PEMULANGAN PENDERITA
a.       Bila kelainan klinis dan fisis telah hilang
b.      Biakan 2 kali berturut-turut negatif (bila keadaan memungkinkan).
c.       EKG normal 3 kali berturut-turut.
d.      Tidak ada kesulitan dalam pemberian makanan dan defekasi.
e.       Sebelum dipulangkan, penderita dan keluarganya yang serumah diberi vaksinasi dasar difteri dan booster.

Bagian lengkap

No comments:

Post a Comment

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...