8. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
a.
Menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya
b.
Mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan
c.
Mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal
d.
Mengobati infeksi penyerta dan
penyulit
Penderita di isolasi sampai biakan
negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana:
a.
Biakan hidung dan tenggorok
b.Dilakukan tes
SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK test
- : pengobatan karier’
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery +
penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid
(imunisasi aktif).
Pasien diisolasi sampai masa akut terlewati
dan biakan hapus tenggorok negatif 2x berturut-turut. Pada umumnya pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Tirah baring lebih kurang 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteri laring, dijaga
agar napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
PENGOBATAN
1. Antibiotika
Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila
penderita sensitif terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama
pemberian selama 7 hari, pada golongan erithromycin dapat digunakan selama 7
-10 hari.
· Penicillin
prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
· Eritromisin
(bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
Penggunaan antibiotika bukan bertujuan
untuk memberantas toxin, ataupun membantu kerja antitoxin,
tetapi untuk membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman C. diphtheriae biasanya rentan
terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin dan tetrasiklin.
2. Antitoxin [ ADS]
Selama infeksi toksin difteri ada 3
bentuk :
1. Toksin bebas dalam darah
2. Toksin bergabung dengan jaringan secara
tidak erat
3. Toksin bergabung erat dengan jaringan
Yang dapat
dinetralisir oleh antitoksin adalah 1 dan 2.
Secara ideal
bila penderita tidak alergi, antitoksin sebaiknya diberikan secara intravena.
Keuntungan pemberian antitoksin intravena, ‘Peak level’ serum antitoksin dapat dicapai dalam waktu 30 menit, sedangkan secara IM dicapai dalam waktu 4 hari.
Keuntungan pemberian antitoksin intravena, ‘Peak level’ serum antitoksin dapat dicapai dalam waktu 30 menit, sedangkan secara IM dicapai dalam waktu 4 hari.
Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari binatang, yaitu dari
serum kuda. Sebelum digunakan harus terlebih dahulu dilakukan test.
Test sensitivitas terhadap antitoxin
serum kuda dilakukan dengan cara:
0,1 ml dari
antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan
diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20 menit dijumpai erythema dengan diameter
> 10 mm pada bekas tempat suntikan, atau pada test mata dijumpai adanya
conjunctivitis dan pengeluaran air mata.
Bila hal ini
dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu
cara yang digunakan adalah:
1.
0,05 ml dari
larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
2.
0,1 ml dari larutan
pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
3.
0,1 ml dari
larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.
4.
0,1 ml tanpa
pengenceran diberi secara S.C.
5.
0,3 ml tanpa
pengenceran diberi secara I.M.
6.
0,5 ml tanpa
pengenceran diberi secara I.M.
7. 0,1
ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.
Bila tidak dijumpai reaksi, sisa
dari antitoxin dapat diberikan secara perlahan melalui infus. Bila dijumpai
reaksi dari pemberian antitoxin, harus segera diobati dengan pemberian
epinephrine [1:1000 ]secara I.V.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI)
Cara pemberian
|
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
|
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
|
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
|
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
|
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
|
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000
Intravena
|
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000
Intravena
|
Sebelum Pemberian ADS harus
dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian
ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif
bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang
lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi. Bila ujihiprsensitivitas tersebut
diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti
tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama
2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
3.
Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck). Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck). Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
·
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3
minggu.
·
Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari
seca IV (terutama untuk toksemia)
4. Imunisasi
Penurunan
drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan
boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi
sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia
1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus
dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat
dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali
pemberian.
Tindakan
pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen
"acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau
vaksin yang mengandung "whole cell pertusis" (DTP). Vaksin
yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen "whole
cell pertussis ", dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat
ini juga telah tersedia.
Jadwal imunisasi berikut ini
adalah yang direkomendasikan
a) Untuk anak-anak
berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi
dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval
4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4
diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu
diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal
tersebut.
Dosis
ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila
komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat
diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7
tahun ke atas:
Mengingat
efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis
booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan
untuk mereka yang sebelumnya belum pemah diimunisasi maka diberikan imunisasi
dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua
dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6
bulan hingga I tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia
menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan
tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu
diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat
perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
Setelah
mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer
lebih besar dari 0,01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif adalah 0,01 IU).
Dalam penelitian terhadap bayi yang mendapat imunisasi DPT di Jakarta,
dilaporkan bahwa:
1.) Antara 71-94% bayi saat
imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria
2.) Setelah mendapatkan imunisasi
DPT 3 kali didapatkan 68-81% telah memiliki kadar antibodi protektif terhadap
difteria dengan rata-rata 0,0378 IU/ml.
Lama kekebalan setelah
mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting
diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan
kekebalan setelah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.
Upaya khusus perlu dilakukan
terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas
kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh
tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang
mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau
mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan
jadwal yang sarna bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini
tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
9. Komplikasi
a.
Miokarditis
·
Biasanya timbul akhir minggu kedua
atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
·
Pemeriksaan fisis : irama derap,
bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah
jantung.
·
Gambaran EKG : depresi segmen ST,
inversi gelombang T, blok AV, BBB, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan
perubahan interval QT.
·
Lab : kadar enzim jantung
meningkat (LDH, CPK, SGPT, SGOT)
·
Rontgen : Jantung membesar bila
terdapat gagal jantung
b. Kolaps Perifer
·
Terjadi pada akhri minggu I
perjalanan penyakit
·
Tanda-tanda kolaps perifer
(renjatan) :
a.
Tekanan darah menurun (systole ≤
80 mmHg)
b.
Teklanan nadi menurun
c.
Kulit keabu-abuan, dingin dan basah.
d.
Anak gelisah.
PEMULANGAN
PENDERITA
a.
Bila kelainan klinis dan fisis
telah hilang
b.
Biakan 2 kali berturut-turut
negatif (bila keadaan memungkinkan).
c.
EKG normal 3 kali berturut-turut.
d.
Tidak ada kesulitan dalam
pemberian makanan dan defekasi.
e.
Sebelum dipulangkan, penderita dan
keluarganya yang serumah diberi vaksinasi dasar difteri dan booster.
Bagian lengkap
No comments:
Post a Comment