Monday, July 27, 2015

Difteri (Bagian 2)

   4. Klasifikasi

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
·      Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
·      Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
·      Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Gambaran  klinik tergantung pada lokasi anatomi yang  dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah:
·         Nasal diphtheria
            Gejala permulaan dari nasal diphtheria sukar dibedakan dari  commoncold. Tanda karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah.
            Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari salah satu lubang hidung ataupun dari keduanya .Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa menjadi mucopurulent dan dijumpai exkoriasi pada lobang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas, terlihat seperti impetigo.
            Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang putih pada sekat hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala hanya ringan tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan berlangsung untuk beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.

·         Tonsillar [faucial] diphtheria dan Pharyngeal diphtheria
            Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit tenggorokan, dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membrane dijumpai pada daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran, yang bervariasi dari hanya melibatkan sebagian dari tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari faring. Membran ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan perdarahan.
            Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical adenitis dan periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan disebut dengan"bullneck".
            Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toxemia. Pada keadaan ini temperature bisa normal atau sedikit meninggi.
            Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari ke-10, dan penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus yang sangat berat, ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toxemia, yaitu; kelemahan yang amat sangat, pucat sangat menonjol, nadi halus dan cepat,stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada keadaan penyakit yang sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya sering diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis.

·         Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria
            Laryngeal diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal diphtheria, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya demam, suara serak dan batuk. Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membrane menimbulkan gejala; inspiratory stridor, retraksi suprasternal, supra clavicular dan subcostal.
            Pada keadaan yang berat laryngeal diphtheria belanjut sampai ke percabangan tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh pemberian antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan batuk pada hari ke- 6-10.
Pada kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat, diikuti dengan adanya anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianosis, kelemahan yang sangat, koma dan berakhir dengan kematian. Kematian yang mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang disebabkan oleh karena penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.
            Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa dengan gambaran mekanikal obstruksi dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan dijumpai kongesti, edem, sedang tanda toxemia adalah minimal pada saat pemulaan terinfeksinya laring,hal ini disebabkan karena absorpsi dari toxin sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan tonsil dan pharyngeal diphtheria, dengan kosekwensi gejala klinik adalah gambaran obstruksi dan toxemia yang berat,yang dijumpai secara serentak.

·         Nonrespiratory diphtheria
   Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang lazim [saluran pernafasan] yaitu pada kulit,conjunctiva, auricular dan vulvovaginal.
Pada cutaneous diphtheria, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus, dengan batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran. Pada conjunctival diphtheria, yangmula-mula terlibat adalah kelopak mata, dimana kelopak mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran. Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan yang purulent yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk ulkus yang mengelompok.




Monday, July 20, 2015

Difteri (Bagian 1)

Difteri
Amelia R
1.    Definisi
        
         Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Infeksi biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
         Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.

2.    Epidemiologi

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok serta penggunaan tosoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap insiden menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.
Karier manusia yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C. diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae  didapat melalui kontak dengan pembawa atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa ditransmisikan melalui droplet ketika batuk, bersin, atau berbicara.
Menurut laporan WHO, difteri tersebar luas di seluruh dunia dan menjadi endemik di beberapa daerah berkembang di dunia, termasuk Asia, Afrika, Amerikka Selatan, dan daerah Mediterania. Epidemik terakhir dimulai pada 1900 di Federasi Rusia, Ukraina dan beberapa daerah di Uni Soviet.

Monday, July 13, 2015

Demensia vaskuler

Demensia Vaskuler
Amelia, R
2.1 Definisi
Menurut International Classification of Disease 10, demensia adalah keadaan perubahan fungsi intelektual meliputi memori dan proses berfikir sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada demensia memori yang terganggu meliputi memori registrasi, penyimpanan, dan pengambilan kembali informasi. Sedangkan demensia vaskuler adalah suatu sindrom penurunan kemampuan intelektual yang progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional yang disebabkan oleh gangguan  serebrovaskuler. Salah satu contoh demensia vaskuler ini adalah demensia pasca stroke.1
Demensia dapat terjadi karena berbagai proses di dalam otak, seperti gangguan serebrovaskuler, infeksi susunan saraf pusat (SSP), defisiensi vitamin, gangguan metabolik, maupun proses penuaan yang abnormal.2
Pada demensia vaskuler terjadi penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, juga disebabkan oleh penyakit pada substansia alba, iskemik atau sekuele dari hipotensi atau hipoksia.3
2.2 Epidemiologi
Dari berbagai penelitian, kasus demensia alzheimer merupakan kasus terbanyak dari sekitar 50 – 70 %, sedangkan untuk demensia vaskuler menempati urutan kedua yaitu 15 – 20 %, dan sisanya 15-35% disebabkan demensia lainnya.4
Berdasarkan penelitian dari tatemichi di Jepang, prevalensi demensia pasca stroke yaitu sekitar 26,3%. Di Indonesia sendiri belum ada angka prevalensi untuk demensia pasca stroke ini, tetapi berdasarkan penelitian Lamsudin di Yogyakarta, didapatkan prevalensi demensia pasca stroke didapatkan sekitar 23,3%.1
Di Indonesia jumlah penduduk usia tua (>60 tahun) diperkirakan sekitar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 15% diantaranya mengalami demensia. Individu yang berusia tua makin tinggi risiko terjadinya gangguan perilaku seperti demensia.4,6,9
           Defisit dari kognitif dapat terjadi setelah serangan stroke. Rata-rata defisit kognitif terjadi seperempat sampai sepertiga kasus stroke. Insiden demensia pasca stroke yaitu 23,5% sampai 61 %.7
2.3 Etiologi dan faktor risiko
            Jenis  demensia yang paling sering ditemukan berdasarkan urutan tersering adalah sebagai berikut :3
a.       Demensia alzheimer
b.      Demensia vaskuler
c.       Demensia campuran (alzheimer-vaskuler)
d.      Demensia Lewy Body
e.       Penyakit Pick
f.        Demensia frontotemporal
g.      Hidrosefalus tekanan normal
h.      Demensia alkoholik
i.        Demensia infeksiosa (misalnya pada HIV dan sifilis)
j.        Demensia Parkinson
Beberapa faktor risiko yang  menyebabkan demensia vaskuler adalah sebagai berikut:2
a.       Hipertensi
b.      Stroke
c.       Usia lanjut
d.      Diabetes mellitus
e.       Penyakit jantung
f.        Merokok
g.      Obesitas
h.      Alkoholisme

Monday, July 6, 2015

Syok Kardiogenik (bagian 4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC. Jakarta. 1995. Hal. 243-249
2. Trisnohadi HB. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2000. Hal: 11-16
3. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-57
4. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2002. Hal: 90-93
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995. Hal: 593-606
6. Scwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2000. Hal: 37-45
7. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol.1. 13th ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218-223
8. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing




Bagian lengkap
 

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...