Monday, June 8, 2015

Urtikaria

DEFINISI
 Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang  perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
EPIDEMIOLOGI
            Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.
ETIOLOGI
            Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya:
1.      Makanan
Peranan  makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makana berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika
Contoh  makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka; bahan yang dicampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin.
2.      Obat-obatan
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun nonimunologik. Contoh: obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, diuretik, kodein, opium, zat kontras, aspirin.


3.      Gigitan/ sengatan serangga
Dapat menimbulkan urtika setempat, agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV).
4.      Bahan fotosensitizer
Sering menimbulkan urtikaria, misalnya: griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik.
5.      Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan nafas.
6.      Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria adalah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan-bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7.      Trauma fisik
Dapat diakibatkan oleh:
·         Faktor dingin à berenang atau memegang benda dingin
·         Faktor panas à sinar matahari, sinar UV, radiasi, dan panas pembakaran
·         Faktor tekanan à goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, dan tekanan berulang-ulang (pijatan)
·          Keringat
·         pekerjaan berat
·         demam
·          emosi


8.      Infeksi dan infestasi
Masih merupakan pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau pun oleh sensitisasi.
9.      Psikis
Tekanan  jiwa dapat memicu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
10.  Genetik
Faktor genetik berperan penting pada urtikaria dan angioedema, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan
11.  Penyakit sistemik
Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain: limfoma hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam reumatik, dan artritis reumatoid juvenils
KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria diantaranya yaitu :
1. Berdasarkan onset serangan
a. Urtikaria akut
Serangan berlangsung dalam beberapa jam sampai 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tapi muncul tiap hari.
b. Urtikaria kronis
Serangan berlangsung berulang-ulang dan terjadi selama lebih dari 6 minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
2. Berdasarkan morfologi klinis
a. Urtikaria papular
b. Urtikaria gutata
c. Urtikaria girata

3. Berdasarkan mekanisme terjadinya
a. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
ü   Tergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
● Pada atopi
● Sensitivitas antigen spesifik (polen,obat, makanan,dll)
● Fisik : dermografisme, getaran, dingin,cahaya, dll.
● Kontak
ü  Ikut sertanya komplemen
● Reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
● Reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
● Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
b. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
ü  Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras)
ü  Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid, golongan azodyes)
ü  Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar dan bahan kolinergik.
c. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.
PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang meningkat, menyebabkan transudasi cairan dan protein. Transudasi cairan menyebabkan pengumpulan cairan setempat sehingga secara klinis tampak udem dan kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan mediator-mediator seperti histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxic (SRSA), prostaglandin oleh sel mast atau basofil.
Sedangkan penyebab pelepasan mediator-mediator tersebut dapat berupa faktor imunologik maupun non imunologik yang merangsang sel mast dan atau basofil.
Faktor non imunologik berperan dengan cara memacu sel mast secara langsung, dan mungkin terkait dengan peranan siklik AMP. Selain lewat pelepasan mediator, ada juga beberapa keadaan seperti demam, panas, emosi dan alkohol yang berpengaruh pada pembuluh darah secara langsung sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik berperan pada urtikaria baik melewati peranan igE (reaksi alergik tipe I),  lewat peran komplemen (reaksi alergi tipe II dan III), maupun lewat kontak langsung (reaksi alergi tipe IV). Defisiensi C1 esterase inhibitor secara genetik juga berpengaruh terhadap urtikaria.
Selain melalui mekanisme-mekanisme diatas masih banyak mekanisme timbulnya urtikaria yang lain yang masih belum bisa dijelaskan atau diketahui prosesnya.
GEJALA KLINIS
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar dan rasa tertusuk. Klinis tampak eritem dan udem setempat berbatas tegas (urtika), bentuknya dapat papular, besarnya dapat lentikular, numular,  sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan subkutan atau submukosa dan juga mengenai alat-alat dalam seperti saluran pencernaan dan nafas disebut angioedema.
Pada dermografisme lesi khas berupa edem dan eritem yang linear di kulit yang timbul sekitar 30 menit setelah terkena goresan benda tumpul.  
DIAGNOSIS PENUNJANG
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk menentukan penyebabnya, misalnya:
1.      Pemerikasaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2.      Pemerikasaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3.      Pemerikasaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4.      Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5.      Tes eleminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6.      Pemeriksaan histopatologis, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.
7.      Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8.      Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
9.      Tes dengan es (ice cube test)
10.  Tes dengan air hangat
DIAGNOSIS
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat serta pembantu diagnosis diatas, agaknya dapat ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya. Walaupun demikian hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria.
DIAGNOSIS BANDING
            Urtikaria kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid, pitiriasis rosea bentuk papular, dan urtikaria pigmentosa.
PENGOBATAN
Pengobatan yang paling ideal adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut dengan mengurangi penggunaan atau kontak dengan penyebabnya.
Terdapat 3 jenis obat yang cukup baik untuk mengontrol gejala pada urtikaria yakni antihistamin, agen simpatomimetik dan kortikosteroid.
1.      Anti Histamin
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin-histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan antagonis reseptor H2 (AH2).
Drug of choice untuk mengontrol urtikaria adalah antihistamin H1.  Banyak jenis pilihan yang tersedia untuk kelompok ini. Tiap-tiap kelompok mempunyai perbedaan profil efek. Pilihan tergantung kebutuhan pasien dan kemampuan toleransi terhadap AH H1.
Pada umumnya efek antihistamin terlihat dalam waktu 15-30 menit setelah pemakaian oral dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama kerja bervariasi dari 3-6 jam.
Antihistamin H1 klasik dibagi atas 6 kelompok yaitu etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, fenotiazin, dan kelompok tambahan (hidroksin, hidroklorid, siproheptadin). Sedasi atau rasa ngantuk merupakan efek samping yang paling sering dialami para pengguna AH H1 klasik.
Saat ini telah dikembangkan antihistamin H1 generasi kedua yang efek sedasinya rendah, seperti terfenadin (fexofenadin), astemizol, mequitazine (antihistamin nonklasik).
2.      Anti-enzim
Dimaksudkan  untuk menekan aktivitas plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen antibodi, misalnya anti plasmin. Preparat yang digunakan adalah ipsilon. Obat lain adalah trasilol, hasilnya 44% memuaskan.
3.      Desensitisasi
Misalnya:
ü  Pada urtikaria dingin dengan melakukan sensitisasi air pada suhu 10°C (1-2 menit) 2 kali sehari selama 2-3 minggu
ü  Pada alergi debu, serbuk sari bunga dan jamur, desensitisasi mula-mula dengan alergen dosis kecil 1 minggu 2 kali, dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh penderita
4.      Eliminasi Diet
Dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan
5.      Pengobatan lokal di kulit
Dapat diberikan secara simtomatik, misalnya anti pruritus di dalam bedak atau bedak kocok
PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi. Urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari. Pada angioedema kematian hampir 30 % terjadi disebabkan karena obstruksi saluran napas.



Monday, June 1, 2015

CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

CRONIC KIDNEY DISEASE
Amelia, R , dkk

1.    Definisi
Cronic kidney disease (CKD) adalah penyakit renal tahap akhir, yang merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Pada CKD tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elekrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogen lain di dalam darah.1
Pada CKD terjadi kerusakan ginjal dengan laju filtrasi glomerulus <60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan ireversible yang akan berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang terjadi dapat dilihat dari dari kelainan dalam darah, urin, pencitraan atau melalui biopsi ginjal.1

2.    Etiologi dan faktor risiko

Etiologi dari gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
a.       Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielonefritis kronik dan refluks nefropati.
b.      Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
c.       Penyakit vaskuler seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna dan stenosis arteri renalis
d.      Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliartritis nodosa, dan sklerosis sistemik progresif.
e.       Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus ginjal.
f.        Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
g.      Nefropati toksik seperti pada penyalahgunaan analgetik dan nefropati timah.
h.      Nefropati obstruktif seperti pada traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal, dan traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital vesika urinaria dan uretra.2

3.    Patogenesis
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus dan mempengaruhi fungsinya, sehingga menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.3
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunnya filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomelurus klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.3

Monday, May 25, 2015

BST : Acne Bagian 2

GEJALA KLINIK

Keluhan yang sering timbul biasanya lebih karena gangguan estetik atau keindahan yang dirasakan oleh penderita, bukan karena gangguan fisik kesehatan secara umum. Memang kadang-kadang jerawat menyebabkan rasa gatal yang mengganggu atau bahkan rasa sakit, tetapi umumnya tidak ada efek menyeluruh pada tubuh yang ditimbulkan.
Penderita biasanya mengeluh adanya erupsi kulit pada tempat-tempat predileksi, yakni di muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas, dan lengan bagian atas. Dapat disertai rasa gatal. Erupsi kulit berupa komedo, papul, pustula, nodus, atau kista. Isi komedo ialah sebum yang kental atau padat. Isi kista biasanya pus dan darah.


Nomenklatur diagnosis akne vulgaris dapat dilakukan menurut :
  1. Berat ringannya penyakit
Akne vulgaris ringan, berat, dan sedang. Akne vulgaris I, II, III, IIV.
  1. Morfologi klinis
Akne vulgaris komedonal, papulosa,pustulosa, nodulo-kistik.
Akne vulgaris komedonal dan papulosa disebut juga tanpa inflamasi. Akne vulgaris nodulosa-kistik disebut sebagai yang ada inflamasi.
  1. Kombinasi 1 & 2
Akne vulgaris papulosa ringan
Akne vulgaris pustulosa berat.
Penentuan berat ringan penyakit atau tingkat I – II – III – IV berbeda diantara para penyelidik satu dengan yang lainnya.
Berikut ini dicantumkan empat gradasi menurut PILL SBURY (1963)
I. Komedo di muka
II. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka
III. Komedo, papul, pustul, dan lebih dalam peradangan di muka, punggung, dan dada.
IV. Akne konglobata.
Bentuk lesi akne vulgaris adalah polimorf. Lesi yang khas adalah komedo. Bila terjadi peradangan akan terbentuk papula, pustula, nodul, dan kista. Bila sembuh, lesi dapat meninggalkan eritem dan hiperpigmentasi pasca inflamasi, bahkan dapat terbentuk sikatrik seperti cetakan es yang atrofik ( Ice pick lilac atropic scar) dan keloid. Lesi terutama timbul di daerah yang banyak mempunyai kelenjar palit seperti muka, punggung dan dada.
Komedo lazim dikenal senagai kepala hitam (komedo terbuka) dan kepala putih (komedo tertutup). Komedo dapt menjadi lesi dasar pada akne. Ia akibat fungsi lobang folikular sebasea yang salah maupun oleh proses hiperkeratinisasi yang salah pada lubah folikular. Sumbat yang dihasilkan komedo mendilatasi mulut folikel dan papula dibentuk oleh peradangan sekeliling komedo. Kista kecil, pustula, atau papula yang telah terinfeksi bisa terbentuk disekeliling komedo. Selain itu bisa terlihat nodulus, infiltrasi granulomatosa dalam peradangan karena asam lemak atau piokokus, jaringan parut dan keloid.

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...