Monday, December 15, 2014

Diare


Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/ tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Pada diare akan terjadi kekurangan air (dehidrasi), gangguan keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik), hipoglikemia, gangguan gizi, dan gangguan sirkulasi.
Manifestasi klinis pada diare awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin mengandung darah dan/atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur empedu. Anus dan sekitarnya lecet karena tinja menjadi asam. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan/atau sesudah diare. Bila telah banyak kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun. Pada bayi, ubun-ubun besar cekung. Tonus dan turgor kulit berkurang. Selaput lendir mulut dan bibir kering.
Diare membutuhkan penggantian cairan dan elektrolir tanpa melihat etiologinya. Tujuan terapi rehidrasi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara tepat (terapi rehidrasi) kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti (terapi rumatan). Jumlah cairan yang dibutuhkan tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau golongan umur. Rencana pengobatan disesuaikan dengan derajat dehidrasi. Rencana pengobatan A untuk keadaan tanpa dehidrasi, rencana terapi B untuk dehidrasi ringan/sedang, dan rencana terapi C untuk dehidrasi berat.
 Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, tidak ada manfaatnya untuk kebanyakan kasus termasuk diare berat dan diare dengan panas, kecuali pada disentri (bila tidak berespon pikirkan kemungkinan amoebiasis), suspek kolera dengan dehidrasi berat, dan diare persisten.
Pada pasien, diare sudah berlangsung dua hari dengan frekuensi 4 kali perhari, diare bercampur lendir. Demam ada, anak tampak gelisah dan masih mau minum. Dari pemeriksaan didapatkan turgor kulit berkurang. Dehidrasi terjadi karena tubuh kehilangan air dan elektrolit dari diare terutama ion natrium, clorida, dan bikarbonat. Kehilangan ini bertambah dengan adanya muntah dan panas/demam. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan pasien menderita diare akut dengan dehidrasi sedang. Dari hasil laboratorium ditemukan peningkatan jumlah leukosit yang menandakan adanya infeksi bakteri. Pada pemeriksaan feses secara mikroskopis ditemukan leukosit 10-12/LPB, eritrosit 4-6/LPB dan tidak ditemukan amuba atau telur cacing. Jadi dapat disimpulkan kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi bakteri.
Hal pertama yang mesti ditangani terlebih dahulu adalah masalah dehidrasinya. Dehidrasi merupakan keadaan berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan cepat. Rehidrasi diberikan peroral sebanyak 75 cc/kgBB dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cariran yang telah terjadi dan sebanyak 10 cc/kgBB setiap diare. Jika tidak bisa diberikan peroral dapat secara parenteral. BB 3-10 kg : 200 cc/kgBB/hari. BB 10-15 kb : 175 cc/kgBB/hari. BB > 15 kg : 135 cc/kgBB/hari.
         Plan :
Diagnosis :
o   Diare Akut dengan dehidrasi sedang
Pengobatan :
         IVFD RL 70-80 gtt/menit. Jika BAK (+) à 30-40 gtt/mnt mikro
         Kotrimoksazol syrup 2 x 1 cth
         Paracetamol syrup 3 x 1 cth
         Zink 1 x 20 mg
         L Bio 1 x 1 sach

Pendidikan :
         Apabila terdapat tanda-tanda awal dehidrasi pada anak dengan diare seperti mata cekung, gelisah/ rewel, cubitan kulit perut kembali lambat, dan anak tampak haus; ibu wajib waspada dan tetap memberikan cairan yang adekuat di rumah sebelum dibawa ke pusat pelayanan kesehatan. Jangan sampai anak jatuh pada keadaan dehidrasi berat dimana anak sudah letargis, tidak mau minum/menyusu serta turgor kulit sangat menurun.
         ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang. Adanya perbaikan nafsu makna menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering, rendah serat, buah-buahan diberikan terutama pisang.
         Pemberian tablet zink tetap diberikan walaupun diare sudah berhenti. Pemberian zink dilanjutkan selama 10 hari.
Penyuluhan kepada keluarga untuk pencegahan diare serta pencegahan dehidrasi. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara pemberian ASI, pengolahan makanan dan minuman yang baik, kebiasaan mencuci tangan yang sehat, menjaga kebersihan lingkungan. Pencegahan dehidrasi adalah dengan edukasi kepada ibu bagaimana memberikan cairan rumah tangga, bagaimana mencampur dan memberikan oralit kepada anak di rumah, meneruskan pemberian ASI selama diare, dan mengenali tanda-tanda dehidrasi pada anak.

Sunday, December 14, 2014

Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai dengan anemia hipokrom mikrositer dan hasil lab menunjukan cadangan besi yang kosong. Anemia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara-negara tropik dan negara ketiga. Hal tersebut karena sangat berkaitan dengan taraf sosial ekonomi. Anemia jenis ini mengenai sekitar sepertiga penduduk dunia dan memberikan damapk yang kesehatan dan sosial yang cukup serius.

Etiologi
Etiologi ADB dapat disebabkan oleh :
  • Kehilangan besi akibat pendarahan menahun dapat berasal dari:
    • saluran cerna : Tukak peptik, keganasan, divertikulosis, hemoroid, investasi cacing.
    • saluran genital wanita : Menorhagia atau metrorhgia
    • saluran kemih : Hematuria
    • saluran napas : Hemaptoe
  • Faktor nutrisi : berkurangnya asupan besi total dalam makanan, atau makanan yang dikonsumsi mengandung besi dengan kualitas yang kurang baik karena banyak mengandung serat, rendah vit C, dan rendah daging.
  • Kebutuhan besi yang meningkat : pada prematuritas anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
  • Gangguan absorbsi besi : gastrektomi, tropical sprue, kolitis kronik.
Patogenesis  
Pendarahan menahun akan menyebabkan kehilangan darah sehingga cadangan besi makin menurun (Iron depleted state/negative iron balance). Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar feritin serum, peningkatan absobrsi besi dan pengecatan besi dalam sumsum negatif. Apabila keadaan ini terus berlanjut sehingga cadangan besi menjadi kosong dan menyebabkan gangguan eritopoeisis, namun hal ini belum menimbulkan gejala anemia. Hal ini disebut dengan iron deficient erythropoeisis. Pada fase pertama ini, kelainan yang muncul adalah peningkatan free protophorphyrin atau Zinc protophorphyrin dalam eritrosit, saturasitransferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Apabila kejadian ini terus berlanjut dan menyebabkan eritropoeisis terganggu dan mengakibatkan terjadinya penurunan kadar hemoglobin dan timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut dengan Anemia defisiensi besi. 

Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala anemia defisiensi besi digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu
  1. Gejala Umum anemia (sindrom anemia), kadang sindrom anemia ini tidak terlalu mencolok, hal ini karena penurunan kadar Hb yang terjadi secara perlahan, sehingga tubuh telah mengkompensasinya. Anemia simtomatik terjadi apabila Hb turun dibawah 7 g/dl. Gejala umum anemia antara lain:
    • lemah
    • lesu
    • cepat lelah
    • mata berkunang-kunang
    • telinga mendenging
    • pasien pucat, terutama di konjungtiva dan bawah kulit
  2. Gejala Khas defisiensi besi : Gejala yang tidak ditemui pada anemia jenis lain. Kumpulan gejala anemia hipokrom mikrositer, disfagia, dan atropi papil lidah disebut dengan sindrom Paterson kelly. Gejala khas ADB antara lain :
    • koilonychia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal, dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
    • atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
    • stomatitis anglukaris (cheilosis) : adanya radang di sudut mulut sehingga tampak seperti bercak berwarna keputihan.
    • disfagia : nyeri menelan yang diakibatkan kerusakan epitel hipofaring
    • atropi mukosa gaster sehingga menyebabkan akhlorida
    • pica : keinginan untuk memakan bahan yang tak lazim, seperti tanah, es, lem, dll
  3. Gejala penyakit dasar : Gejala dari penyakit yang menyebabkan ADB, sebagai contoh pada pasien yang mengalami keganansan kolon, akan dijumpai gangguan kebiasaan defekasi.
Diagnosa
Untuk menegakan diagnosanya dibutuhkan 3 langkah yaitu:
  • menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar Hb atau hematokrit
  • memastikan adanya defisiensi besi
  • menentukan penyebab dari defisiensi besi 
Secara laboratoris, untuk menegakan diagnosa ADB dapat menggunakan kriteria Kerlin et at yang telah dimodifikasi, yaitu
  • Anemia hipokrom mikrositer atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan salah satu dari
    • dua dari tiga parameter berikut
      • besi serum < 50 mg/dl
      • TIBC > 350 mg/dl
      • saturasi transferin < 15 %
    • feritin seru < 20 mg/l
    • pengecatan sum-sum tulang menunjukan cadangan besi negatif
    • dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari selama 4 minggi disertai dengan peningkatan kadag Hb lebih dari 2 g/dl.
Diagnosa difrensial
Anemia jenis lain.
Terapi
  1. Terapi kausatif : Atasi penyakit penyebab,
  2. Pemberian preparat besi seperti 
    • Terapi besi oral : lebih baik pada saat lambung kosong, kecuali pada pasien yang mengalami intoleransi.
      • sulfas ferosus 3 x 200 mg, jika efek samping dianggap mengganggu, dosis dapat diturunkan menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan diberikan selama 3 sampai 6 bulan, ada juga yang dianjurkan sampai 12 bulan. Setelah Hb normal, diberikan dosis pemeliharaan 100-200 mg.
      • dapat ditambahkan dengan vit. c untuk meningkatkan penyerapan besi, namun akan meningkatkan efek samping
    • Terapi besi parenteral : karena harganya yang mahal dan resikonya yang besar pula, maka terapi besi parenteral diberikan dengan indikasi,
      • intoleransi terhadap terapi besi oral
      • kepatuhan terhadap minum obat yang rendah
      • gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif
      • penyerapan besi yang terganggu, seperti pada gastrektomi
      • keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan terapi oral
      • kebutuhan besi dalam jumlah besar dalam waktu singkat
      • defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropioetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
      • Tujuan pemberian besi parenteral adalah untuk mengembalikan kadar Hb dan mengisi cadangan besi sebesar 500-1000 mg
      • Dosis yang diberikan (mg) = ( 15-Hb sekarang) x BB x 2,4 +500 atau 1000 mg.
Pencegahan
  • Pendidikan kesehatan
    • Kesehatan lingkungan
    • penyuluhan gizi
  • pemberantasan cacing tambang
  • suplementasi besi pada segmen penduduk yang rentan.
  • fortifokasi bahan makanan dengan besi.    
Daftar Pustaka
Bakta, I Made, dkk, 2009, Anemia Defisiensi Besi (Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi v), Jakarta: Internalpublishing

Saturday, December 13, 2014

Sinusitis



Sinusitis adalah peradangan di daerah sinus paranasal yaitu suatu tempat di daerah hidung, dan bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis. Bagian yang paling sering mengalami peradangan adalah sinus maxilla (pipi), etmoidalis (belakang tulang hidung), frontalis (dahi), dan sfenoidalis (pelipis).
Sinusistis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun)

Penyebab sinusitis akut
  • Infeksi virus Sinusitis biasa terjadi setelah infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas, misalnya; pilek.
  • Bakteri Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit. Jika sistem pertahan tubuh menurun dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya maka bateri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus sehingga terjadi infeksi sinus akut.
  • Infeksi jamur Apergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan sistim kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
  • Peradangan menahun pada saluran hidung
  • Penyakit tertentu Sinusisitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistim kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir.
Penyebab sinusitis kronis
  • Asma
  • Penyakit alergi
  • Gangguan sistim kekebalan atau kelainan sekresi ataupun pembuangan lendir
Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi dua, yaitu; gejala subyektif (dirasakan) dan gejal obyektif (dilihat).
  • Gejala subyektif antara lain: demam, lesu, hidung tersumbat, sekresi lendir hidung yang kental dan terkadang berbau, sakit kepala yang menjalar dan lebih berat pada pagi hari. Pada sinusitis yang merupakan komplikasi penyakit alergi sering kali ditandai bersin, khususnya pagi hari atau kalau dingin.
  • Gejala obyektif kemungkinan ditemukan pembengkakan pada daerah bawah orbita (mata) dan lama kelamaan akan bertambah lebar sampai ke pipi
Peradangan pada masing-masing sinus mempunyai gejala yang berbeda, yaitu:
  • Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.
  • Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi
  • Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan di antara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung ditekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
  • Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan atau belakang atau kadang menyebabkan sakit telinga dan leher.
Untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat sinus ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan:
  • Menghirup uap dari vaporizer atau uap air panas.
  • Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam. Membuat selaput lembap sehingga bakteri dan debu pun terbuang. Namun jangan di gunakan lebih dari 6 hari, efeknya akan memburuk dan justru memicu peradangan. Akibatnya hidung menjadi tambah tersumbat dan dibutuhkan dosis yang lebih tinggi.
  • Kompres dengan air hangat di daerah peradangan sinus.
  • Mandi dengan air panas. Saat mandi, gunakan shower air hangat, usap dahi, hidung dan dagu dengan kain yang telah dibasahi air panas, agar lubang hidung terbuka lebar. Rongga hidung yang kering lebih mudah terinfeksi daripada yang basah.
  • Perbaiki daya tahan tubuh. Istirahat yang cukup dan makan panganan yang penuh gizi. kurangi merokok atau kalau bisa berhenti merokok
Pengobatan

Untuk Sinusitis akut bisa diberikan:
  • Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot. Namun gunakan dalam waktu terbatas karena pemakaian jangka panjang bisa memicu penyumbatan dan pembengkakan saluran hidung.
  • Antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri
  • Obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri
Untuk Sinusitis kronis bisa diberikan:
  • Diberikan antibiotik dan dekogestan.
  • Jika penyakitnya berat bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut)
Jika pengobatan di atas tidak bisa mengatasi maka satu-satunya jalan adalah pembedahan.

Sumber: http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=4673&_page=0

Friday, December 12, 2014

Masalah Gizi Lebih di Indonesia

Masalah gizi bukan lagi hal yang dianggap sederhana. Bahkan hal ini telah masuk menjadi salah satu indikator  kesehatan masyarakat. Dari 24 indikator yang menjadi dasar penetapan IPKM yang terbagi menjadi tiga kategori bobot, yaitu kategori mutlak dengan bobot lima sebanyak sebelas indikator, kategori penting dengan bobot empat sebanyak lima indikator, dan kategori perlu dengan bobot tiga sebanyak delapan indikator. Untuk kategori mutlak tiga di antaranya adalah indikator gizi yaitu prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk, prevalensi balita pendek, dan prevalensi balita kurus. Hal tersebut membuktikan bahwa masalah gizi bukanlah masalah yang sepele.
         Ada dua jenis masalah yang muncul akibat malnutrisi yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi lebih dalam dua dekade terakhir meningkat akibat perubahan pola hidup masyarakat terutama di daerah urban. Bahkan masalah gizi lebih ini telah menjadi polemik sendiri di negara maju. Gizi lebih dapat dinilai dari berat badan. Dari data yang dihimpun WHO tahun 2008 menyebutkan bahwa sekitar 1.5 miliar penduduk dewasa mengalami kelebihan berat badan, 200 juta pria dewasa mengalami obesitas, dan lebih dari 300 juta wanita mengalami obesitas. Sebuah studi pada tahun 2008 oleh Centers for Disease Control di Atlanta yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan hampir satu dari lima anak usia 6-11 tahun dan 18,1 persen anak usia 12-19 tahun yang menderita obesitas. Di Indonesia sendiri pada tahun 2003 terdapat 2.24 % balita yang mengalami gizi lebih, sedangkan data untuk penduduk di atas 15 tahun terdapat 10.3 % mengalami gizi lebih.
         Data di atas menunjukan betapa besarnya jumlah penderita gizi lebih di Indonesia. Penyebab yang paling nyata adalah perubahan ekonomi. Perubahan ini terjadi akibat pasar globalisasi dan modrenisasi di semua aspek. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang berat badan lebih ataupun obesitas lebih banyak terjadi di daerah perkotaan. Peningkatan ekonomi ini menyebabkan perubahan pola hidup, mulai dari pola makan dan aktivitas fisik. Makanan yang awalnya lebih banyak persentase karbohidrat kini telah berubah menjadi lebih banyak persentase lemak, seperti fast food.  Jenis makanan yang seperti ini akan meningkatkan persentase lemak tubuh yang akhirnya akan berimplikasi kepada kelebihan berat badan.
            Selain faktor ekonomi, faktor cahaya lampu secara tidak langsung juga mempengaruhi gizi lebih dan obesitas. Penelitian terbaru dari Reuroscience  di Ohio State University  menemukan bahwa semakin banyak cahaya pada saat kita makan, maka resiko untuk mengalami kelebihan berat badan semakin tinggi. Penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba. Tikus-tikus tersebut diperlakukan dalam tiga kondisi. Kondisi pertama tikus diberi terpaan cahaya selama 24 jam terus-menerus, kondisi kedua tikus diberi terpaan cahaya dengan siklus standar terang selama 16 jam dan gelap selama 8 jam, sedangkan kondisi ketiga tikus diberi terpaan cahaya terang selama 16 jam dan cahaya redup selama 8 jam. Para peneliti mengukur berapa banyak makanan yang dipakai tikus setiap hari. Selain itu mereka juga mengukur berapa banyak mereka bergerak di sekitar kandang mereka setiap hari melalui sistem persimpangan sinar inframerah. Kemudian massa tubuh tikus dihitung setiap minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus dengan cahaya redup saat malam massa tubuhnya meningkat lebih tinggi dari tikus yang hidup dalam siklus standar terang dan gelap. Berat badan tikus terus meningkat sejak minggu pertama penelitian. Pada akhir penelitian tikus yang hidup dengan cahaya redup malam hari berat badannya lebih kurang 12 gram sedangkan tikus yang hidup dengan siklus standar terang dan gelap berat badannya 8 gram. Tikus yang mendapat terpaan cahaya terus-menerus juga memiliki berat badan lebih besar dari tikus yang hidup dengan siklus standar terang dan gelap.
Faktor lain yang mempengaruhi gizi lebih dan obesitas adalah kebiasaan ketika makan. Salah satu kebiasaan yang buruk ketika makan adalah makan di depan komputer atau televisi, karena hal ini akan mengakibatkan jumlah makanan yang masuk ke mulut akan lebih banyak.
Selain asupan makanan, hal lain yang dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas adalah faktor aktivitas. Kurangnya aktivitas dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas. Salah satu yang menyebabkan berkurangnya aktivitas seseorang adalah tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan pada saat ini menyebabkan kebanyakan penduduk lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di kursi dari pada bergerak. Ditambah lagi kesadaran berolahraga yang masih kurang di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat meningkatkan resiko berat badan berlebih. Dari analisis lebih lanjut didapatkan seorang remaja yang menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari dengan menonton televisi memiliki resiko obesitas 12.3 kali lebih besar dari pada remaja yang menonton televisi yang kurang dari 3 jam per hari.
Walaupun kita mengetahui bahwa berat badan berlebih tidak akan terjadi apabila seseorang tidak memiliki faktor genetik untuk gizi lebih atau obesitas. Apabila kedua orang tua gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan anak menderita berat badan berlebih sekitar 80%, sedangkan apabila salah satu dari orang tua mengalami gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan itu menjadi setengahnya atau 40 %.
Faktor-faktor sosiokultural juga berperan penting dalam gizi lebih dan obesitas, seperti masih banyaknya masyarakat yang berpendapat bahwa gemuk adalah lambang kemakmuran. Pendapat seperti ini dapat memicu peningkatan jumlah konsumsi kalori pada masyarakat tersebut. Anggapan “gemuk makmur” ini berimplikasi pada orang tua yang akan senang ketika anaknya memiliki berat badan lebih. Padahal apabila pada waktu masih anak-anak berat badannya sudah berlebih akan meningkatkan faktor resiko menjadi berat badan berlebih pada waktu dewasa.
Prevalensi ini  akan terus meningkat, mengingat setiap anak yang memiliki faktor predisposisi genetik akan tinggal bersama dengan orang tua yang telah terbiasa dengan pola hidup sedentary. Peneliti memprediksi 8 dari 10 pria dan 7 dari 10 wanita akan mengalami obesitas pada tahun 2020. Penelitian yang dilakukan ini  mengambil  sampel di satu negara maju yakni Inggris. Negara maju dan negara berkembang  cenderung memiliki gaya hidup seragam saat ini. Sehingga dapat diperkirakan trend obesitasnya antara negara maju dan negara berkembang akan sama.
Konsekuensi gizi lebih dan obesitas adalah meningkatnya resiko kematian. Seseorang yang memiliki kelebihan berat badan sebesar 40%  dari normal, diperkirakan meninggal 8 tahun lebih cepat  dari pada populasi rata-rata. Peningkatan mortalitas ini terjadi karena insiden diabetes melitus tipe dua, penyakit jantung koroner, penyakit kandung kemih, osteoarthritis atau radang sendi,  stroke, dan kanker. Sedangkan pada anak-anak dapat menimbulkan gangguan seperti dislipidemia, stenosis hepatis, gangguan saluran pencernaan, dan sleep apnea.
Pada orang yang menderita gizi lebih prevalensi munculnya kanker 30% lebih tinggi dibanding orang yang memiliki berat badan ideal. Jenis kanker yang sering muncul adalah kanker ginjal, kanker rahim, kanker payudara, kanker esophagus, kanker pancreas, dan kanker kolon.
Berat badan lebih dan obesitas adalah penyakit mahal. Bahkan untuk negara maju peningkatan jumlah penyakit akibat gizi lebih dan obesitas dalam beberapa dekade terakhir telah menguras anggaran kesehatan. Di Australia telah menghabiskan dana 464 juta dolar Australia , 12 milyar franc di Perancis, 1 milyar golden di Belanda, dan 45,8 juta dolar Amerika di Amerika Serikat. Dana yang dikeluarkan itu merupakan direct cost, artinya dana yang berhubungan langsung dengan gizi lebih dan obesitas yang sebagian besar merupakan akibat penyakit jantung koroner dan hipertensi. Sedangkan kerugian akibat berkurangnya produktifitas akibat kematian dini dan morbiditas pasti lebih besar lagi.
Di Indonesia belum diketahui besar kerugian akibat penyakit yang berhubungan dengan gizi lebih dan obesitas. Hal ini disebabkan masih kurangnya  studi tentang biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah tersebut. Tetapi melihat yang terjadi di negara lain dapat diperkirakan biaya yang akan dikeluarkan negara berkembang pasti lebih besar lagi. Hal tersebut disebabkan Indonesia masih mengimpor alat-alat kedokteran dan obat-obatan demi kepentingan rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.
Untuk mengatasi masalah gizi lebih dan obesitas ini tak cukup dengan hanya mengandalkan tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan gizi lebih dan obesitas sangat kompleks sehingga membutuhkan kerjasama semua lapisan masyarakat. Strategi yang harus dilakukan agar hasilnya lebih optimal adalah tindakan preventif dan promotif. Jika dioptimalkan pada tindakan kuratif dan rehabilitatif maka dana yang disediakan tidak akan cukup (WHO, 2000). Ironinya, di lapangan dana yang dikucurkan untuk usaha promotif dan preventif hanya 10 % sedangkan dana untuk kuratif dan preventif sekitar 60 – 85 %. Hal ini menyebabkan usaha promotif dan preventif kurang maksimal.
Usaha promotif dan preventif yang paling penting adalah dengan menyadarkan masyarakat itu sendiri. Usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dari berbagai aspek. Di lihat dari segi pendidikan, kementrian pendidikan nasional dapat memasukan materi gizi ke dalam kurikulum pendidikan. Memang sebelumnya telah ada materi gizi, namun hal itu hanya sepintas lalu dan hanya membahas satu aspek yaitu gizi kurang. Diharapkan dari kurikulum yang lebih komprehensif masyarakat mulai disadarkan sejak di bangku sekolahan. Dari pendidikan dasar ini paradigma “gemuk makmur” sedikit demi sedikit akan terkikis.
Di sektor lain usaha yang dapat dilakukan oleh kementrian perdagangan yaitu mewajibkan semua produk makanan untuk mencantumkan label kadar kalori dari produk makanan tersebut baik yang ada dalam kemasan maupun jenis masakan cepat saji. Pencantuman ini akan membantu masyarakat untuk menghitung intake kalori. Label ini juga membantu komunikasi antar produsen dan konsumen mengenai hal-hal tentang pangan yang dibutuhkan konsumen. Bagi produsen sendiri label tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi.
Usaha dari tenaga medis dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang gizi lebih dan obesitas terutama di sekitar perkotaan. Dalam penyuluhan ini dijelaskan tentang bahaya laten dari gizi lebih dan obesitas. Promosi tentang diet yang seimbang serta olahraga yang cukup juga perlu ditekankan. Sebagai komunitas terkecil, keluarga dapat menghabiskan waktu liburan dengan   beraktivitas bersama. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anaknya agar tidak menganut sedentary life, selain untuk mengeratkan hubungan antar anggota keluarga tersebut.  
         Dari uraian di atas jelas sekali masalah gizi dan kesehatan di masyarakat di masa yang akan datang menjadi semakin kompleks dan menjadi tantangan pembangunan masyarakat. Kompleksitas masalah gizi dan kesehatan ini menuntut perhatian dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Jika dibiarkan saja bukan tidak mungkin prediksi tahun 2020 akan terwujud atau bahkan lebih tinggi.

Thursday, December 11, 2014

Autoimunitas : Etiologi

Autoimunitas adalah suatu kelainan dengan ciri ketidakmampuan sistem imun untuk membedakan sel atau jaringan tubuh sendiri (self) dari sel atau jaringan asing (non self), sehingga jaringan tubuh sendiri dianggap antigen asing. Mekanisme ini dapat melalui respon imun selular maupun humoral. 

Walaupun pada beberapa orang terdapat respon imun yang autoreaktif, namun hal tersebut tidak menjadi keadaan patologis autoimun. Ada beberapa penjelasan yang pernah dikemukakan mengapa pada beberapa orang yang rentan autoreaktif menjadi autoimun, yaitu:
  1. Faktor atau substansia yang menginduksi respons sutoreaktif tetap berada di dalam tubuh sehingga terus-menerus merangsang limfosit T
  2. Menyusul kerusakan jaringan,serangkaian reaksi autoimun dirangsang secara terus menerus melalui pelepasan antigen jaringan dan pemaparan sistem imun pada antigen tersebut.
  3. Tidak semua sel autoreaktif disingkirkan pada saat perkembangan, tetapi sebagian diantaranya dipertahankan dan dikendalikan secara ketat dalam keadaan anergi. anergi akan tergangggu apabila ada defek pada sistem pengendaliannya
Etiologi imunitas msih belum jelas. Menurut para pakar penyebab autoimunitas multifaktor. Sebagian besar dipengaruhi oleh satu atau lebih substansi asing. Ada beberapa teori yang diajukan tenttang hal ini yaitu:
  1. Teori Pemaparan antigen : pembentukan antigen di dalam organ tertutup sehingga menyebabkan antigen ini terisolasi dan tak terpapar dengan antibodi. Pada saat itu tidak akan terjadi apa-apa. Namun apabila antigen ini ternyata keluar dari organ tersebut oleh suatu hal maka antibodi akan mengenalinya sebagai benda asing. Dalam beberapa kasus teori ini dapat dipakai, misalnya pada pembentukan antibodi sperma dan pembentukan antibodi terhadap lensa mata. Namun pada beberapa penelitian lain, teori ini tidak terbukti terutama yang melibatkan sel T.
  2. Teori gangguan mekanisme hemostatik : Teori ini yang paling banyak dianut. Sebenarnya sel T dan sel B yang autoreaktif telah ada di dalam tubuh. Namun tubuh memiliki mekanisme homeostatis untuk melindunginya dari jaringan rubuh sendiri. Mekanisme adalah :
    • penyingkiran sel autoreaktif saat berkembang
    • penekanan respons yang dikehendaki terjadi di kemudian  hari
    • Penyingkiran klon ( clon deletion) sel-sel autoreaktif. Kunci mekanismenya terletak pada sel T dan Th. Pengendalian tersebut dapat terjadi baik di timus maupun perifer. Ada bebrapa hal yang dapat menggagu homeostatik, yaitu:
      • Reaksi silang dan Molekul mimicri
      • Gangguan mekanisme pengaturan oleh jaringan idioptik dan anti-idioptik 
      • Kesalahan MHC class II
      • Kegagalan mekanisme pengaturan sistem penekanan.
  3. Stimulasi Imunogenik : beberapa jenis mitogen dapat merangsang sel B melalui sel T tanpa bantuan dari Sel Th. Sel B yang terbentuk memiliki sifat nonimunogenik yang kemudian menjadi autoantibodi. Autoantibbodi yang terbantuk biasanya terdiri atas IgM.
  4. Teori genetik : faktor genetik turut berperan dan memudahkan terjadinya penyakit autoimun. Beberapa penyakit auoimunitas sering terjadi pada satu keluarga walaupun sebenarnyya tidak ada genetik tunggal yang bertangguang jawab atas kejadian ini.

Daftar Pustaka:
Darwin, Eryati, 2006, Imunologi dan Infeksi, Padang: Universitas Andalas Press

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...