Wednesday, December 10, 2014

Reaksi Hipersensitivitas


Hipersensitivitas adalah keadaaan dimana respon imunologis sekunder beraktivitas secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi ini dapat terjadi akibat antigen yang masuk dalam jumlah  besar ke dalam tubuh atau bila status imunologis seseorang meningkat.
 
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologi, Gell dan Combs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Pembagian ini berdasarkan respon antigen dengan reseptor pada permukaan limfosit. Walaupun pada kenyataannya reaksi hipersensitivitas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena biasanya melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi. Namun pada akhir-akhir ini ditambahkan satu tipe tambahan yaitu tipe V.

Hipersensitivas Tipe I (Tipe cepat)
Jenis reaksi ini sangat penting dan paling sering dijumpai. Salah satu contoh dari reaksi tipe I yaitu atopi (asma, eksim, hay fever, dan urtikaria). Gejala ini biasanya menunjukkan gejala yang sama pada anggota keluarga yaitu akan menunjukkan gejala segera setelah terpapar antigen lingkungan.
Pada reaksi Tipe I ini yang paling berperan adalah IgE. Apabila IgE yang terikat pada basophil atau mastosit terpapar ulang dengan atigen, maka akan terbentuk jembatan molekul IgE pada permukaan sel atau disebut crosslinking. Crosslinking hanya terjadi pada antigen yang bivalen dan univalent. Selain sesama IgE, Crosslinking juga dapat terjadi pada frgmen Fc-IgE apabila bereaksi dengan IgE lain, atau reseptor Fc dengan reseptod Fc lainnya.Crosslingking ini merupakan tahapan awal dari proses degranulasi sel mast dan basophil. 

Degranulasi akan mengakibatkan pelepasan mediator-mediator yang ada di dalam sel seperti histamine, heparin, Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Platelet Activating Factor (PAF), ataupun mediator baru lainnya. Diantara mediator baru tersebut adalah Sub Reacting Sub Satnces Of Anaptylaxis yang terdiri dari substansi-substansi dengan potensi spasmogenik dan vasodilatasi kuat seperti leukotrin LTB4, LTC4, dan LTD4, disamping itu terdapat pula prostaglandin dan tromboksan. Mediator-mediator ini akan bereaksi langsung ke jaringan.

Disamping faktor genetik, ada beberapa faktor lain yang berpengaruh kepada alergi, salah satu diantaranya defisiensi sel T, terutama T Supresor. Pada penderita eksim biasanya dijumpai defisiensi sel T CD3+ dan CD8+. Respon sel T terhadap milogen pada penderita atopi juga mengalami penurunan.

Hipersensitivitas Tipe II ( Reaksi sitotoksisitas yang memerlukan bantuan antibodi)
Reaksi tipe II dan III melibatkan IgG dan IgM sebagai tokoh utama. Perbedaannya pada tipe II terjadi pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu sedangkan pada tipe III terjadi pada antigen yang terlarut di dalam serum.
Mekanisme kerusakan jaringan pada tipe II terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu:
·         Proses sitolisis oleh sel efektor yang membutuhkan kontak antara sel efektor dengan sel sasaran. Kontak ini terjadi pada immunoglobulin yang terikat antigen yang kemudian dengan bantuan Fc sebagai jembatan Opsonic Adherence dengan sel efektor.
·         Proses sitolisis oleh komplemen. Proses ini melalui jalur klasik aktivasi komplemen. Diawali dengan Clq yang merupakan reseptor Fc yang terlarut akan merangsang aktivasi C3
·         Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen (Immune Adherence). Sel sararan yang dilapisi oleh komplemen akan berikatan dengan sel efektor sehingga sel efektor akan meningkatkan sitolisis sel sasaran.
Beberapa contoh kasus reaksi tipe II
·         Kerusakan pada eritrosit
Kasus ini dapat terjadi pada transfusi darah kepada resipien yang memiliki antibody terhadap eritrosist yeng ditranfusikan. Transfusi ini akan menyebabkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan hemolysis intravascular. Hal yang sama juga terjadi pada HDN dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu masuk ke dalam plasenta dan aliran darah janin yang kemudian akan menyebabkan reaksi tipe II.
·         Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi ini hanya terjadi pada jaringan baru yang mengalami revaskularisasi segera setelah transplantasi. Dalam waktu satu jam setelah transplantasi akan terlihat infiltrasi neutrophil secara ekstensif dan disusul dengan kerusakan jaringan, pembuluh darah, dan pendarahan. Faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah neutofil dan trombosit.

Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Kompleks imun sebenarnya selalu terjadi pada saat antigen dan antibody bertemu dan kemudian akan dibersihkan secara efektif oleh retikuloendotel. Tetapi pada keadaaan tertentu pembentukan reaksi ini berlebihan dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Secara umum reaksi pembetukan kompleks imun ini dapat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
·         Akibat Kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody lemah, menimbulkan pembentukan kompleks kronis yang dapat mengendap di jaringan
·         Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus  yang berikatan dengan jaringan self
·         Kompleks imun yang terbentuk pada permukaan jaringan tubuh seperti pada paru-paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang-ulang.
Pembentukan kompleks ini melibatkan IgG. Pembentukam kompleks ini akan mengendap di suatu tempat di jaringan yang kemudian akan memicu timbulnya reaksi inflamasi seperti pada tipe I. Selanjutnya akan terjadi vasodilasi dan penumpukan PNM yang akan menghancurkan kompleks. Di lain pihak, aktivitas penghancuran kompleks ini juga berakibat buruk pada jaringan normal sekitar kompleks.
Faktor-faktor yang memepengaruhi terbentuknya kompleks imun
·         Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan penyakit/gejala kompleks imun harus memiliki ukuran yang sesuai. Apabila ukuran kompleks tersebut besar maka akan dengan mudah di bersihkan oleh hepar, namun apabila ukuran kompleks tersebut kecil, maka akan bertahan lama di aliran darah sehingga individu tersebut akan mudah terserang penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun.
·         Kelas Imunologi
Hal ini berhubungan dengan pembersihan (Clearence) kompleks imun. Kompleks imun yang dipengaruhi IgG akan lebih sulit dibersihkan daripada yang dipengaruhi pleh IgA.
·         Aktivasi komplemen
Jika terbentuknya melalui jalur klasik maka akan lebih mudah untuk dihancurkan makrofag, tetapi apabila terdapat masalah pada sistem komplemen, sebagai contoh defisiensi komplemen, maka yang terjadi adalah pembentukan kompleks imun yang tidak terkontrol yang kemungkinan besar akan mengendap di jaringan tubuh.
·         Permeabilitas pembuluh darah
Pengendapan kompleks imun sangat dipengaruhi oleh peremebilitas pembuluh darah. Dapat dikatakan bahwa peningkatan permeabilitas pembuluh darah adalah penyulut pengendapan kompleks imun.
·         Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun akan sangat mudah terjadi pada tekanan darah tinggi dan aliran turbulensi. Banyak kompleks imun yang mengendap di glomerulus dikarenakan tekanan darah di tempat tersebut meningkat 4 kali lipat ataupun mengendap di pleksus choroid dimana di tempat tersebut terdapat aliran turbulensi.
·         Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa kompleks imun yang memiliki ketertarikan di jaringan-jaringan tertentu, misalnya SLE lebih sering mengendap di ginjal dan rematoid di sendi

Hipersensitivitas IV (Reaksi tipe lambat)
Tipe IV ini sedikit berbeda dengan tiga tipe sebelumnya karena tidak melibatkan antibody, melainkan melibatkan sel-sel limfosit. Reaksi tipe IV ini biasa akan muncul 12 jam setelah paparan antigen. Reaksi tipe IV ini terbagi menjadi empat jenis yaitu:
·         Reaksi Jones Mote ( Cutaneous basophil hypersensitivity)
Reaksi yang timbulnya hanya sebentar saja, mencapai puncak pada 24 jam dan kemudian berkurang. Mekanisme jenis ini masih belum jelas.
·         Reaksi Tuberkulin
Reaksi jenis ini mencapai puncaknya pada 24-48 jam setelah paparan antigen. Reaksi ini dapat diikuti dengan agregasi dan proliferasi makrofag dengan membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu.
·         Reaksi Kontak
Reaksi kontak ditandai dengan reaksi eksim pada tempat terjadinya kontak dengan allergen yang berupa hapten, seperti logam, zat warna, maupun zat kimia. Reaksi ini ini terjadi di epidermis berbeda dengan tuberculin yang terjadi di dermis.
Gejala akan muncul pada 4-8 jam dan akan mencapai puncaknya pada 48-72 jam. Gejala awal menunjukkan sel-sel mononuclear sekitar kelenjar keringat, sebasea, folikel, dan pembuluh darah yang mulai menginfiltrasi epidermis.
·         Reaksi granuloma
Reaksi ini merupakan lanjutan dari reaksi tuberculin.

Hipersensitivitas V (Hipersensitivitas Bawaan)
Selain keempat hipersensitivitas yang sudah dijelaskan di atas, Roitt menambahkan reaksi hipersensitivitas yang disebut innate hypesensitivity reaction. Ia menyatakan bahwa aktivasi komplemen secara berlebihan juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh kasus pada tipe V ini yaitu DIC (disseminated Intramuscular Coagulation) dan DHF (Dengue Hemorhagic Fever)  pada penderita yang telah mempunyai antibody dengan titer tinggi.

Daftar pustaka
Darwin, Eryati, 2006, Imunologi dan Infeksi, Padang:Andalas University Press.

Tuesday, December 9, 2014

Epidemiologi Asma Bronkial


Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas saluran nafas bagian bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan. 
Asma merupakan penyebab utama penyakit kronis pada masa kanak-kanak, menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang berarti, karena penyakit kronis. Asma merupakan diagnosis masuk yang paling sering di rumah sakit anak dan berakibat kehilangan 5-7 hari sekolah secara nasional/tahun/anak. Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak wanita; setelah itu insidens menurut jenis kelamin sama. Asma dapat menyebabkan gangguan psikososial pada keluarga. Namun dengan pengobatan yang tepat, pengendalian gejala yang memuaskan hampir selalu dimungkinkanDari tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika.

Data pada pewarisan asma adalah paling cocok dengan determinan poligenik atau multifaktorial. Anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai resiko menderita asma sekitar 25%; risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orangtua asmatis. Namun, asma tidak secara universal ada pada kembar monozigot. Labilitas bronkial dalam responsnya terhadap uji olahraga juga telah diperagakan pada anggota keluarga anak asmatis yang sehat. Kecenderungan genetik bersama dengan faktor lingkungan dapat menjelaskan kebanyakan kasus asma masa kanak-kanak.
 Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari

Monday, December 8, 2014

Syok Hipovolemik

Syok adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital secara adekuat. Syok hipovolemik yaitu terganggunya sistem sirkulasi akibat volume darah di dalam pembuluh darah berkurang. Hal tersebut dapat terjadi akibat pendarahan masif atau kehilangan plasma darah.


Etiologi syok hipovolemik
  1. Pendarahan
    • Hematom subkapsular hati
    • Aneurisma aorta pecah
    • Pendarahan gastrointestinal
    • Perlukaan berganda
  2. Kehilangan Plasma
    • Luka bakar Luas
    • Pankreatitis
    • Deskuamasi Kulit
    • Sindrom Dumping
  3. Kehilangan cairan ektravaskular
    • Muntah
    • Dehidrasi
    • Diare
    • Terapi diuretik yang agresif
    • Diabetes Insipidus
    • Insufisiensi Adrenal
Patofisiologi Syok
Berkurangnya volume darah di pembuluh darah akan menurunkan pengisian pembuluh darah rata-rata dan akan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal tersebut akan menurunkan pula curah jantung, sesuai dengan hukum Frank Sterling. Curah jantung yang berkurang akan menyebabkan beberapa kejadian pada beberapa organ :
  • Mikrosirkulasi :Ketika curah jantung turun secara drastis, maka tahanan vaskular sistemik akan berusaha meningkatkan tekanan sistemik guna memenuhi kebutuhan dua organ terpenting yaitu jantung dan otak, sementara aliran darah ke organ lainnya akan berkurang. Apabila hal ini berlanjut (hingga tekanan artei rata-rata kurang dari 60 mmHg), maka akan terjadi gangguan fugsi sel di semua organ.
  • Neuroendokrin : Baroreseptor dan kemoreseptor sebenarnya dapat mengendalikan tekanan darah dengan cara mendeteksi adanya hipovolemia, hipotensi, dan hipoksia. Namun hal tersebut hanya berlangsung sementara dan tak dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
  • Kardiovaskular : Jantung sebenarnya memiliki mekanisme untuk mempertahan perfusi jaringan tetap normal pada saat terjadi penurunan aliran balik. Namun pada keadaan penurunan jumlah darah yang banyak terjadi, mekanisme ini tak sanggup untuk mengatasinya.
  • Gastrointestinal : Ketika tubuh memenuhi kebutuhan perfusi dua organ terpenting yaitu jantung dan otak, aliran ke bagian gastrointestinal akan mengalami penurunan. Akibat hal tersebut, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan penyerapan endoktoksin dari bakteri gram negatif. Endotokosin yang dilepaskan ke pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Keadaan ini seperti lingkaran setan yang akan memperberat kerja jantung, karena aliran darah balik akan semakin bekurang.
  • Ginjal : Akibat penurunan perfusi di ginjal, secara otomatis ginjal akan mengeluarkan aldosteron dan vasopresin. Hormon ini akan memeprtahankan garam dan air. Namun apabila kejadian ini berlanjut, hal tersebut malah akan menciptakan kerusakan di ginjal itu sendiri. Sebagian besar yang terjadi adalah nekrosis tubular akut, bahkan hingga menjadi gagal ginjal akut. Kerusakan ginjal tersebut terjadi bukan hanya karena syok dan sepsis, tetapi akibat penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti golongan aminoglikosida dan media kontras angiografi.
Gejala klinis
Gejala yang muncul adalah peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh darah vena kolaps, pelepasan hormon stress, serta ekspansi besar guna pengisian volume darah dengan menggunakan cairan intersisial, intraseluler, dan menurunkan jumlah urin.
Gejala Klinis Syok Hipovolemik

Ringan
<20% Volume darah
Sedang
20-40% Volume darah
Berat
>40% volume darah
Ekstermitas Dingin
Waktu Pengisian kapiler meningkat
Diaporesis
Vena Kolaps
Cemas
Sama, Ditambah dengan
Takikardi
Takipneu
Oliguria
Hipotensi ortostatik
Sama, ditambah dengan
Hemodinamik tak stabil
Takikardi bergejala
Hipotensi
Perubahan Kesadaran

Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosa ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya pendarahan, namun hal tersebut akan sulit apabila pendarahanya tidak terlihat dengan jelas atau berada di traktus gastrointestinal atau hanya kehilangan plasma. Kadar hemoglobin dan hematrokrit biasa tidak akan langsung turun apabila terjadi kehilangan darah, kecuali terjadi gangguan kompensasi atau telah di rehidrasi. Apabila terjadi kehilangan plasma maka akan terjadi hemokonsentrasi, dan kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremi.
Harus dibedakan dengan syok kardiogenik. Walaupun gejala keduanya sama, namun penatalaksaanya berbeda. Pada stok kardogenik akan ditemukan distensi vena jugularis, ronki, dan galop S3.

Penatalaksanaan
Pada kedaan syok hipovolemik, maka posisikan kaki lebih tinggi, jaga jalur pernapasan, dan berikan resusitasi cairan cepat lewat akses intravena atau dengan cara lain seperti pemasangan kateter central venous pressure (CVP) ataupun jalur intraaretial. Gunakan cairan garam isotonis (namun hati-hati dengan asidosis hiperkloremi) atau dengan cairan garam seimbang seperti RL. Berikan 2-4 L dalam 20-30 menit. Tidak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Apabila hemodinamik belum mengalami perbaikan, maka pendarahan belum teratasi. Apabila Hb kurang dari 10 g/dL maka dibutuhkan transfusi darah.
Pada keadaan yang berat yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin, vasopresin, atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan ventrikel setelah volume darah telah tercukupi. Pemberian norefineprin infus tidak banyak membantu pada hipovolemik. Pemberian nalokson 30 mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan dengan 60 mcg/kg selama 1 jam dalam dektros 5% dapat membantu meningkatkan tekanan arteri rata-rata.
Selain resusitasi cairan, pemberian oksigen juga sangat penting, bila perlu lakukan inrubasi untuk mencukupkan oksigen. Kerusakan organ akhir pada hipovolemik jarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik.

Daftar Pustaka:
Wijaya, Ika Prasetia, 2009, Syok hipovolemik (Buku ajar ilmu penykit dalam jilid I edisi V), Jakarta:InternalPublising.

Sunday, December 7, 2014

Gastroenteritis

Gastroenteritis adalah penyakit yang ditandai dengan gejala BAB cair/setengah cair lebih dari 200 cc/24 jam dgn/tanpa lendir. Penyakit ini diderita sekitar 99 juta orang dewasa, dimana AS menyumbangkan sekitar 8 juta pendrita dan dari jumlah tersebut seperempat penderitanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Sedangkan di negara berkembang jumlah ini bisa meningkat 2-3 kali daripada negara maju. Penyakit ini dapat menyebabkan dehidrasi sedang-berat dan akhirnya kematian apabila menyerang anak-anak.

              Traveler merupakan kelompok resiko tinggi penderita penyakit ini. Hal ini dikarenakan mereka kadang mencoba makanan yang tidak biasa mereka konsumsi. Selain traveler kelompok homoseksual, PSK, IDU, serta pengguna antimikroba juga merupakan bagian dari kelompok tersebut.
Penyebab penyakit ini ada beberapa jenis yaitu: 
·                     Mikroorganisme: bakteri, virus, parasit
·                     keracunan
·                     Efek obat-obatan 

Klasifikasi Gastroenteritis
1.                  Berdasarkan waktunya: Akut dan Kronik (&gt;15 hari)
2.                  Berdasarkan Patofisiologisnya : Osmotik dan Sekretorik
3.                  Berdasarkan Severalitynya : Ringan sampai Berat
4.                  Berdasarkan Etiologi : Infeksi dan non Infeksi

Patofisiologi gastroenterologi
  1. Diare osmotik : karena peningkatan osmolaritas cairan intraluminal, Hal tersebut dapat terjadi akibat penggunaan obat-obatan pencahar ataupun obat-obatan Maag (MgSO4, MgOH) 
  1. Diare sekretorik: karena sekresi cairan dan elektrolit yang meningkat akibat endoktosin E.Coli, Kholera, ataupun akibat reseksi ileum.
  1.  Malabsorbsi asam empedu lemak. Seperti pada kasus atresia billier. 
  1. Gangguan pertukaran anion.  
  1. Gangguan pada usus itu sendiri yang mengakibatkan motalitas dan waktu transit menjadi abnormal serta gangguan pada permeabilitas usus.
  1.  Diare inflamtorik  
  1. Dan yang paling sering adalah akibat infeksi dinding usus. Infeksi ini terbagi atas dua bagian besar yaitu invasi (E. Coli, Salmonela, Shigela) dan non invasi (V. Cholera).

Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menegakan diagnosa pada penyakit ini diantaranya:
  1. pemeriksaan darah tepi
  1.  Pemeriksaan elektrolit, ureum, kreatinin, pemeriksaan tinja, kultur, dan serologi

Penatalaksanaan
  1.  Berikan rehidrasi oral/parentalAtur diet pasien. 
  1. Berikan makanan yang mudah dicerna, tidak mengandung gas yang berlebihan, dan kalau bisa perbanyak buah-buahan 
  1. Berikan obat antidiare ( Loperamid ) bila diperlukan 
  1. Berikan anti mikroba

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...