2.1 Obat
Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua
kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan
nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi
sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor
asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun
dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate.
Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah terantung waktu. Setelah
eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan
tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end
plate. Motor end-plate tidak
dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan
reseptor asetilkolin. Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama, depolarisasi yang memanjang
akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang
mengakibatkan phase II block, yang
secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.3
Obat pelumpuh otot
nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak mampu
untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk
berikatan dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. 3
Karena obat pelumpuh
otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan
berdifusi menjauh dari neuromuscular
junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim
pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak
dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan
dari blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesterase inhibitor).3
2.4.1
Pelumpuh Otot Depolarisasi
Obat pelumpuh otot
depolarisasi ini bekerja sebagai agonis asetilkolin. Terjadi hambatan penurunan
kepekaan membran ujung motor. Obat
tersebut menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng akhir saraf. Terjadi karena serabut otot mendapat
rangsangan depolarisasi menetap sehingga akhirnya kehilangan respons
berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi
otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat bergantung pada kemampuan daya
hidrolisis enzim kolinesterasi.6
Ciri
Kelumpuhan :6
a.
Ada fasikulasi
otot.
b.
Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c.
Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.
d.
Tidak
menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun
tetanik.
e.
Belum diatasi dengan obat
spesifik.
2.4.1.2
Suksinilkolin (Diasetilkolin, Suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul
asetilkolin yang bergabung. Obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik)
dan waktu kerja yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi
kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Waktu
kerja obat akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,
seperti hipotermia atau rendanya kadar pseudokolinesterase. Rendahnya kadar
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal
dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase
abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. Dosis
yang diberikan adalah 1-2 mg/kgBB/IV.
3
Interaksi obat :
a. Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor
memperpanjang phase I block pelumpuh
otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase,
maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi akan
meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase. 3
b.
Pelumpuh
otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot
nondepolarisasi merupakan antagonis dari phase
I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin
sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah.3
Efek
samping :3
1. Nyeri otot pasca pemberian :
Dapat dikurangi dengan pemberian
pelumpuh otot non depolarisasi dosis kecil sebelumnya. Myalgia terjadi sampai
90%, selain itu dapat terjadi mioglobunuria.
2. Peningkatan tekanan intra okular :
Meningkatkan tekanan intra ocular
maksimum 2–4 menit setelah pemberian dan akan berlangsung selama 5-10 menit.
Mekanismenya belum jelas tetapi diperkirakan karena kontraksi tonik myofibril
atau dilatasi transien pembuluh darah koroid.
3. Peningkatan tekanan intrakranial.
4. Peningkatan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardia atau "ventricular premature beat" terutama pada pemberian berulang atau terlalu cepat pada anak.
7.
Lama kerja yang memanjang.
Terutama pada penyakit hati parenkimal, kaheksia dan
anemia (hipoproteinemia).
Kontra indikasi absolut : 3
1.
Hiperkalemia, > 5.5 meq/L, misal pada gagal ginjal.
2.
Kelainan otot: malignant hipertermia, myastenia gravis, muscular
distrophy
3.
Trauma otot masif
4.
Luka bakar, 7-60
hari
5. Luka tusuk orbita, karena
meningkatkan tekanan intraokuler
6. Gangguan neurology: paraplegia,
neurodegenerative disease.
2.4.2
Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
Manfaat
obat ini di bidang anestesiologi antara lain untuk : 3
1.
Memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea.
2.
Membuat relaksasi tindakan selama pembedahan.
3.
Menghilangkan spasme laring dan reflex jalan napas atas selama anesthesia.
4.
Memudahkan pernapasan kendali selama anesthesia.
5.
Mencegah terjadinya fasikulasi otot karena obat pelumpuh otot
depolarisasi.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik
tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.1
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:1
1.
Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2.
Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3.
Eter-fenolik : gallamin.
4.
Nortoksiferin
: alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non
depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:1
|
Dosis Awal (mg/kg)
|
Dosis Rumatan (mg/kg)
|
Durasi (menit)
|
Efek Samping
|
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin
2. Pankuronium
3. Metakurin
4. Pipekuronium
5. Doksakuriu
6. Alkurium
|
0.40 – 0.60
0.08 – 0.12
0.20 - 0.40
0.05 – 0.12
0.02 – 0.08
0.15
– 0.30 |
0.10
0.15 – 0.20
0.05
0.01 – 0.015
0.005–0.010
0.05 |
30 – 60
30 – 60
40 – 60
40 – 60
45 – 60
40
– 60
|
Hipotensi
Vagolitik,takikardi
Hipotensi
Kardiovaskuler stabil
Kardiovaskuler stabil
Vagolitik,
takikardi |
Non Depol Intermediet
- Galamin
- Antarkurium
- Vekuronium
- Rokuronium
- Cistakuronium
|
4 – 6
0.5 – 0.6
0.1 – 0.2
0.6 – 0.1
0.15
– 0.20 |
0.5
0.1
0.015 – 0.02
0.10 – 0.15
0.02 |
30 – 60
20 – 45
25 – 45
30 – 60
30
– 45 |
Hipotensi
Aman
untuk hepar |
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium
2. Ropacoranium
|
0.20 – 0.25
1.5
– 2.0 |
0.05
0.3
– 0.5 |
10 – 15
15
– 30 |
|
Deep Short Acting
- Suksinilkolin
| 1 |
| 3-10 |
|
2.4.2.1
Tubokurarin Klorida (Kurarin)
Merupakan
alkaloid kuartener, suatu derivat isoquinolin yang berasal dari tanaman tropis
Chondronderon tomentosum.6
Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai
dengan ptosis, diplopia, otot muka, rahang, leher, dan ekstremitas. Paralisis
otot dinding abdomen dan diafragma terjadi palig akhir. Lama paralisis
bervariasi antara 15-50 menit 6
Sifat :5
a.
Blokade ganglion simpatis,
dilatasi kapiler, inotropik negatif.
b.
Terjadi
kumulatif.
Kontra indikasi
:5
a.
Asma bronchial
b.
Renal disfungsi
c.
Myastenia gravis
d.
Diabetes melitus
e.
Hipotensi
Dosis : paralisis otot
intraaabdominal : 10-15mg, intubasi trakea : 10-20mg.
Cara pemberian : IV /
IM
Efek samping :
hipotensi dan bradikardia. Pada
dosis yang sangat besar bersifat inotropik negative.
Reaksi samping utama:5
a. Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi, takikardi
sinus, bradikardi sinus.
b. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme,
laringospasme, dispneu.
c. Muskuloskelet : apabila tidak adekuat, akan
menyebabkan blok lama.
d. Dermatologik : Ruam, urtikaria.
Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.7
2.4.2.2
Doksakurium
Obat
penyekat neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama. Bersifat mengantagonis aksi
asetilkolin, sehingga menimbulkan blok dari transmisi neuromuskuler.
Doksakurium 2,5 hingga 3 kali lebih poten daripada pankuronium. Obat ini tidak
mempunyai efek hemodinamik yang secara klinis bermakna.7
Oleh anestetik volatil
kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30%-40%) dan lamanya blokade neuromuskular
diperpanjang (hingga 25%). Paralisis rekurens dengan kuinidin. Diantagonis oleh
inhibitor antikolinesterase (neostigmin, edrofonium, dan piridostigmin).7
Peningkatan tahanan atau
reverse dari efek dengan penggunaan karbamazepin dan fenitoin dan pada pasien
dengan cedera bakar dan paresis, tidak kompatibel dengan larutan basa dengan
PH>8,5, seperti larutan barbiturat.7.
Dosis intubasi : 0,05-0,08 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
a.
Kardiovaskuler : Hipotensi, kemerah-merahan, fibrilasi
ventrikel, infark miokard.
b.
Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
c.
SSP : Depresi.
d.
Anuria
e.
Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
f.
Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan
blok yang diperpanjang.7.
2.4.2.3
Pipekuronium
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini merupakan
turunan piperzinum. Waktu awitan dan lamanya serupa dengan pankuronium bromida
dengan dosis yang sebanding. Secara klinis tidak mempunyai efek hemodinamik
yang bermakna. Jarang
terjadi pelepasan histamin.7
Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :7
a.
Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi, bradikardi,
infark miokard.
b.
Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
c.
SSP : Depresi.
d.
Anuria
e.
Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
f.
Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan
blok yang diperpanjang.
Metabolik : Hipoglikemia, Hiperkalemia, Peningkatan
kreatinin. Potensinya meningkat
dan durasi memendek pada bayi dibanding pada anak dan dewasa.7
2.4.2.4 Pankuronium
Bromida (Pavulon)
Merupakan steroid sintesis adalah obat pelumpuh otot
non depolarisasi yang paling banyak dipakai di Indonesia. Kemasan :
ampul 2 ml larutan yang mengandung pankuronium bromide 4 mg.3
Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama
30-40menit. Berikatan kuat dengan globulin plasma dan berikatan sedang dengan
albumin. Mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, karena itu dosis
pemeliharaan/rumatan harus dikurangi dan waktu pemberian harus diperpanjang.3
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamine dan
hipertensi karena memiliki efek inotropik positif serta takikardia karena efek
vagolitik. Sebanyak 15-40% pankuronium dalam tubuh mengalami metabolisme
deasetilasi.3
Ekskresi : ginjal (60-80%) dan
sebagian lagi empedu (20-40%)
Dosis : relaksasi otot : 0,08mg
/ kg BB/ IV (dewasa), rumatan : ½ dosis awal., intubasi trakea : 0,15mg /kg BB/
IV.
Kontra indikasi
:
a.
Hipertensi
b.
Kelainan otot : malignant hyperthermia
c.
Miastenia gravis
d.
Muscular distrophy.5
Reaksi samping utama :
a. Kardiovaskular : Takikardia, hipertensi
b. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
c. Alergik : kemerahan, syok anafilaktik 7
2.4.2.5
Galamin (Flaxedil)
Obat pelumpuh otot non
depolarisasi sintetik. Kemasan : ampul 2 ml atau 3 ml larutan 4%. Larutan dapat
dicampur dengan thiopental. Lama kerja obat berkisar 15-20 menit. Mula kerja
sangat berhubungan dengan aliran darah otot. Mempunyai efek yang lemah pada
ganglion saraf dan tidak menyebabkan pelepasan histamin. Memiliki sifat seperti
atropin yaitu menyebabkan takikardia walaupun pada dosis kecil (20 mg). Karena
itu galamin cukup baik dipakai bersama anestetik halotan. Kenaikan tekanan
darah dapat terjadi, tetapi ringan. Galamin dapat menembus sawar darah
plasenta, tetapi tidak sampai mempengaruhi kontraksi uterus. 3
Ekskresi
: ginjal dan sebagian kecil empedu.
Penggunaan
klinik :
a.
Memudahkan intubasi trakea. Dosis : 80-100mg IV ditunggu
selama 2-3 menit.
b. Relaksasi
pembedahan. Dosis : 2mg / kg BB / IV. Pada dosis sebesar 40mg jarang sampai
menimbulkan paralisis diafragma dan pasien dapat tetap bernapas spontan
walaupun sebagian otot rangka mengalami kelumpuhan. Teknik seperti ini sering dipakai
untuk prosedur ginekologik.
c. Sebagai
profilaksis bradikardia selama anesthesia umum, misalnya pada pembedahan bola
mata. 3
Kontra indikasi :
a. Pasien dengan takikardia
b. Fungsi ginjal yang buruk atau
ancaman gagal ginjal. 3
Reaksi samping utama :
a.
Kardiovaskuler : Takikardi,
Aritmia, Hipotensi
b.
Pulmoner : Hipoventilasi, Apneu
c. Muskuloskelet : Blok tidak adekuat, blok yang
diperpanjang.7
2.4.2.6
Alkuronium Klorida (Alloferine)
Merupakan sintetik toksiferin, suatu alkaloid dari
tanaman Strychnos toksifera. Kemasan : ampul 2ml yang mengandung 10 mg
Alkuronium klorida. Larutan tidak dapat dicampur thiopental. Mula kerja terjadi
pada menit ke 3 untuk selama 15-20menit. Tidak bersifat pelepas histamine
jaringan, tetapi dapat menghambat ganglion simpatik sehingga dapat menyebabkan
hipotensi terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Dapat berpotesiensi
ringan dengan N2O-tiopental-narkotik. 3
Dosis relaksasi pembedahan : 0,15mg / kg BB / IV dewasa, 0,125-0,2
mg/ kg BB/ IV anak-anak.
Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/ kg BB / IV.
Ekskresi : ginjal (70%) dalam bentuk utuh dan sebagian
kecil melalui empedu.3
2.4.2.7 Atrakurium
Besilat (Tracrium)
Merupakan
obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
bensilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopeltalum.3
Keunggulan atrakurium dibanding
obat terdahulu :
a. Metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut eliminasi Hoffman. Reaksi
ini tidak tergantung dari fungsi hati dan ginjal.
b.
Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak
menyebabkan perubahan kardiobaskuler yang bermakna. 3
Kemasan : ampul 5ml mengandung 50mg atrakurium besilat. Stabilitas
larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan
terhadap penyinaran.3
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mula kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit.
Sedangkan lama kerja dengan dosis relaksasi adalah 15-35menit. 3
Dosis : intubasi : 0,5-0,6mg / kg BB/ IV, relaksasi otot
: 0,5-0,6 mg / kg BB / IV, pemeliharaan : 0,1-0,2 mg / kg BB / IV.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian anti
kolinesterase. Atrakurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi terpilih
untuk pasien geriatrik atau dengan kelainan jantung, hati, dan ginjal yang
berat. 3
Reaksi samping utama :
a. Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi, takikardi
sinus, bradikardi sinus.
b. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme,
laringospasme, dispneu.
c. Muskuloskelet : apabila tidak adekuat, akan
menyebabkan blok lama.
d. Dermatologik : Ruam, urtikaria. 7
2.4.2.8 Vekuronium
(Nocuron)
Obat
pelumpuh otot non depolarisasi yang baru dan homolog pankuronium bromide yang
berkekuatan lebih besar dengan lama kerja yang singkat. Tidak memiliki efek
kumulasi pada pemberian berulang atau kontinyu per infuse. Tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.3
Kemasan : ampul berisi bubuk vekuronium 4 mg. Pelarut
yang dipakai antara lain akuades, garam fisiologis, RL, atau D5% sebanyak 2 ml.
Dosis : 0,1mg / kg BB / IV. Mula kerja terjadi pada menit 2-3 dengan lama
kira-kira 30 menit.7
Reaksi samping utama :
a. Kardiovaskular : bradikardia.
b. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu. 7
2.4.2.9 Mivacurium
Merupakan pelumpuh otot
kerja pendek/singkat yang dihidrolisa oleh kolin esterase plasma dengan
kecepatan yang ekuivalen pada 88% dari SCh. Dosis : 80 ug/kgBB onset 2-3 menit
durasi 12-20 menit. Durasi dari mivakuriumk 2 x SCh atau 30-40% dari non depol
intermediate. Blokade pada penderita chirosis hepatis mempunyai onset yang sama
tetapi mengalami pemanjangan pada durasi.7
Referat Lengkap: